REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika
Sebanyak 25 calon tunggal yang memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi anomali demokrasi Indonesia. Berdasarkan hasil penghitungan suara sementara, 25 daerah pilkada dengan satu pasangan calon (paslon) atau calon tunggal mengantongi suara lebih tinggi dari kotak kosong atau kolom kosong.
"Calon tunggal menjadi anomali demokrasi Indonesia," ujar Anggota Dewan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam webinar, Kamis (17/12).
Titi menjelaskan, calon tunggal dalam praktik pemilu global, biasanya terjadi di daerah pemilihan yang kecil. Sebab, partai politik menganggap tidak punya calon di daerah pemilihan yang kecil, tidak terlalu berpengaruh terhadap eksistensinya sebagai institusi politik.
Namun, calon tunggal di pemilihan Indonesia terjadi di daerah pemilihan yang jumlah pemilihnya besar di tengah sistem multipartai yang dianut. Padahal, kata Titi, eksistensi partai dan iklim kompetisi politik di Tanah Air sangat kompetitif, tetapi calon tunggal justru menjamur karena meningkat dari pilkada sebelumnya.
"Anomalinya calon tunggal malah menguat. 25 calon tunggal semuanya menang. Tidak ada yang mendapatkan perlawanan berarti kecuali Humbang Hasundutan agak kompetitif," kata Titi.
Titi mengusulkan penghapusan ambang batas pencalonan pilkada untuk memastikan calon tunggal tidak terjadi hegemoni dan okupasi proses demokrasi elektoral. Hal ini juga bisa menjadi upaya meminimalisasi praktik politik dinasti atau kekerabatan.
Selain itu, ia mendorong persyaratan bagi calon kepala daerah dari partai. Supaya tidak ada lagi seseorang bisa dengan mudah menjadi kader dan mencalonkan diri di pilkada hanya karena punya popularitas, modal, dan hubungan dengan tokoh atau elite partai,
"Ada salah satu persyaratan minimal sebagau kader, kalau menurut Perludem, minimal tiga tahun sebagak kader," tutur Titi.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan mengatakan, mayoritas calon tunggal di Pilkada 2020 memperoleh suara yang tinggi dibandingkan kolom kosong atau kosong kosong sehingga kontestasinya tidak cukup kompetitif. Calon tunggal mengantongi suara di atas 70 persen bahkan ada juga yang 90 persen.
"Calon tunggal mendominasi dari seluruh daerah di 25 kabupaten/kota ini. Hanya beberapa daerah yang kompetitif, tetapi mayoritas di atas 80 persen atau 70 persen," ujar Abhan dalam webinar, Kamis (17/12).
Abhan menyebutkan, hanya pemilihan bupati dengan calon tunggal di Kabupaten Humbang Hasundutan yang berjalan cukup kompetitif. Berdasarkan data publikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), calon tunggal di kabupaten ini hanya berhasil mendapatkan suara 52,5 persen.
Menurut Abhan, dinamika pilkada dengan satu pasangan calon atau calon tunggal ini ternyata lebih dinamis. Ia mengatakan, persoalan regulasi kampanye perlu diatur dengan jelas, terutama posisi pihak-pihak yang mengkampanyekan kolom kosong.
"Ini yang saya kira di regulasi ini tidak diatur. Jadi masih menganut aturan umum, di PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) tidak mengatur kampanye kolom kosong ini," kata Abhan.
Berdasarkan pantauan Republika di laman pilkada2020.kpu.go.id, calon tunggal di beberapa daerah memperoleh suara di atas 90 persen. Di antaranya calon tunggal di Boyolali mendapatkan suara hingga 95,5 persen, calon tunggal di Kota Semarang mengantongi suara sebesar 91,4 persen, dan calon tunggal di Badung meraih suara 94,6 persen.
Di sisi lain, Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, pihaknya sudah menjalankan pilkada dengan calon tunggal berdasarkan peraturan perundangan-undangan dan PKPU. Menurutnya, KPU daerah telah melaksanakan sosialisasi kolom kosong dan mempersilakan pemantau pemilu ikut memantau jalannya pilkada, termasuk dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara maupun perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau di daerah itu calon tunggal maka para pihaknya adalah selain pasangan calon itu sendiri, adalah pemantau yang diakreditasi oleh KPU," kata Raka saat dihubungi Republika, Jumat (18/12).
Namun, Raka tidak bisa memastikan semua daerah yang berpilkada dengan calon tunggal terdapat pemantau pemilu yang terakreditasi KPU. Ia pun tidak bisa menyimpulkan apakah pilkada dengan calon tunggal berjalan lebih dinamis atau lancar dan aman dibandingkan pilkada dengan dua pasangan calon atau lebih.
KPU saat ini tengah melakukan serangkaian persiapan menghadapi sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK). KPU melaksanakan rapat koordinasi (rakor) dan bimbingan teknis (bimtek) dengan jajaran KPU provinsi maupun kabupaten/kota serta rapat eksternal bersama pihak MK.
"Dalam menghadapi perselisihan hasil pemilihan di MK, KPU akan mengkoordinasikan dalam penyiapan jawaban dan penyerahan alat bukti ke MK, supaya dapat berjalan satu pintu dan dapat dikendalikan oleh KPU pusat," ujar Komisoner KPU RI Hasyim Asy'ari dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/12).
KPU memberikan materi berupa hukum acara perselisihan hasil pemilihan di MK, strategi advokasi dalam perselisihan hasil pemilihan di MK, dan metode persidangan dan pembuktian secara daring dan luring. Advokat atau kuasa hukum disiapkan oleh masing-masing KPU provinsi dan kabupaten/kota penyelenggara pilkada.
Hasyim menjelaskan, rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota untuk pemilihan bupati atau wali kota berlangsung 13-17 Desember 2020. Sedangkan rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur 16-20 Desember 2020.
Jadwal pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan ke MK adalah tiga kali 24 jam terhitung sejak tanggal dan jam penetapan hasil penghitungan suara pilkada provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, penetapan pasangan calon terpilih yang ada sengketa hasil dilakukan paling lama lima hari setelah salinan putusan MK diterima KPU.
Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana memprediksi, MK akan menerima banyak permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan kepada daerah (pilkada). Hal ini karena ambang batas selisih perolehan suara antarpasangan calon (paslon) tidak diperiksa di awal, melainkan menjadi bagian dari pokok permohonan.
"Karena ambang batas tidak diperiksa di pendahuluan, sepertinya MK akan kebanjiran permohonan lagi seperti tahun 2015," ujar Ihsan kepada Republika, Jumat (18/12).
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020. MK mengatur syarat selisih atau perbedaan jumlah perolehan suara yang dapat disengketakan dengan memperhatikan jumlah penduduk maksimal dalam suatu provinsi atau kabupaten/kota.
Misalnya, provinsi dengan jumlah penduduk maksimal dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dapat dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak dua persen. Kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa bisa mengajukan sengketa bila ada selisih suara 0,5 persen.
Ihsan menyebutkan, atas ketentuan tersebut, Kode Inisiatif memproyeksikan akan ada 62 paslon yang mengajukan perselisihan hasil pilkada ke MK. Akan tetapi, jumlah ini kemungkinan juga bisa lebih banyak karena ketentuan ambang batas yang tidak diperiksa dalam tahap pemeriksaan pendahuluan.
"Mungkin karena paslon merasa bahwa ambang batas akan diterapkan di pokok permohonan bukan di awal, maka mereka pede (percaya diri) kalau permohonan mereka akan dikabulkan," kata Ihsan.