Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan isu penting yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana persoalan serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*
Isu persaingan antara Amerika Serikat dan China masih akan menjadi perhatian pada 2021. Dilantiknya presiden AS terpilih Joe Biden pada 20 Januari mendatang akan menentukan bagaimana posisi AS ke depan. Apakah akan tetap berada pada garis 'menghantam' China lewat sejumlah kebijakan ekonomi ataupun sanksi-sanksi? Atau Paman Sam lebih melunak dengan mengajak berdialog China?
Seperti kita ketahui, sejak Presiden Donald Trump memimpin, hubungan AS dan China memburuk. Perang tarif di antara kedua negara besar ini telah membuat kondisi ekonomi dunia dalam gonjang ganjing. AS menjatuhkan sanksi, namun China melawan dengan sanksi-sanksi balasan.
AS menutup konsulat China di Houston Texas, China membalas dengan menutup konsulat Paman Sam di Chengdu. Begitulah terus menerus hingga akhir masa jabatan Trump.
Biden diyakini tetap akan proporsional dalam menerapkan langkah-langkahnya terhadap China. Mungkin tidak seperti Trump, namun juga tidak melunak begitu saja karena terkait dengan posisi politik, baik di dalam maupun luar negeri.
AS akan tetap memainkan isu hak-hak asasi manusia seperti kasus di Xinjiang ataupun seruan agar Beijing menerapkan kembali demokrasi di Hong Kong. Sebaliknya, China akan tetap pada pernyataan yang meminta AS agar tak mencampuri urusan dalam negeri Beijing, dan menghargai hak kedaulatan China.
Penanganan Covid-19 juga akan sangat menentukan siapa yang akan lebih unggul antara kedua negara itu. Semakin cepat mengatasi wabah, maka kian cepat juga pemulihan ekonomi.
Di luar isu hubungan dengan China, AS diyakini juga akan tetap mencoba memainkan peran strategis di Timur Tengah. Amerika Serikat masih menyisakan pekerjaan rumah di Afghanistan. Upaya untuk memediasi antara Pemerintah Afgahnistan dan kelompok Taliban belum cukup berhasil. Serangan bom kerap terjadi di ibu kota Kabul.
AS berlomba dengan waktu untuk segera menarik pasukannya dari negara tersebut mengingat biaya yang tak sedikit. Namun meninggalkan begitu saja Afghanistan, tanpa memastikan perlindungan bagi pemerintahan di Kabul juga tidak mungkin. Ini karena Taliban bisa sewaktu-waktu menyerang dan kembali menguasai penuh negara tersebut. Di sinilah dilema yang akan terus dihadapi AS di Afghanistan.
Ihwal hubungan dengan Iran, Biden diyakini akan tetap mencoba membuka ruang dialog dengan mempertimbangkan kembali hasil kesepakatan nuklir yang diperoleh antara negara berpengaruh P5+1 dengan Iran. Trump telah menarik keluar AS dari perjanjian yang telah disepakati pada 2015 lalu. Ia menjatuhkan beragam sanksi ke Iran karena dianggap melakukan berbagai pelanggaran. Langkah ini juga sejalan dengan keinginan dari Israel, sekutu dekat Trump.
Kendati berbeda cara pandang soal Iran, Biden tetap menjadikan Israel sebagai sekutu utama di kawasan. Biden akan mempertahankan kedutaan AS yang telah dipindahkan ke Yerusalem. Namun di satu sisi, Biden mulai merajut hubungan dengan Palestina yang beku di era Trump. AS akan membuka kembali kantor perwakilan Palestina di negara tersebut. Biden akan menjaga kembali status quo sampai tercapainya kesepakatan antara Palestina dan Israel.
Normalisasi
Pada 2021, Israel menggandeng AS akan mencoba terus melakukan normalisasi dengan negara-negara Muslim. Setelah Uni Emirat, Bahrain, Sudan, dan Maroko, Tel Aviv disebut-sebut mengincar Inonesia, meski hal itu telah dibantah oleh Kemenlu RI.