Sabtu 02 Jan 2021 14:09 WIB

Gebrakan Bank Digital: Selamat Datang di Era Neo Bank

Bank digital punya peluang besar berkembang, namun tantangannya pun tak kalah hebat

Nasabah melakukan transaksi di Gerai BCA Gandaria City Mall, Jakarta (ilustrasi). Sejumlah bank konvensional juga melakukan aksi korporasi dan langkah strategis dengan membuat layanan bank digital.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika
Nasabah melakukan transaksi di Gerai BCA Gandaria City Mall, Jakarta (ilustrasi). Sejumlah bank konvensional juga melakukan aksi korporasi dan langkah strategis dengan membuat layanan bank digital.Prayogi/Republika.

Oleh : Elba Damhuri, Kepala Republika Online

REPUBLIKA.CO.ID -- Masuknya Gojek ke satu bank teknologi atau bank digital di Indonesia, yakni Bank Jago Tbk, menjadi salah satu berita besar di pengujung 2020 lalu. Ini menjadi kolaborasi dan strategi baru industri perbankan dengan mengedepankan prinsip-prinsip bisnis berbasis publik/nasabah sebagai centrum.

Gojek membeli 1,956 miliar lembar saham Bank Jagi dengan harga Rp1.150 per lembarnya. Total investasi Gojek mencapai Rp 2,25 triliun di Bank Jago, yang berarti bertambah menjadi 22,6 persen dari hanya 4,14 persen. 

Sebelumnya, sejumlah bank konvensional juga melakukan aksi korporasi dan langkah strategis dengan membuat layanan bank digital. BCA, misalnya, mengakusisi Bank Royal untuk dijadikan bank digital.

Lainnya, sebut saja, Bank BTPN dengan Jenius, Bank DBS dengan Digibank, Bank Permata dengan PermataMe, Bank UOB dengan TMRW, dan terakhir Bank Jago. BCA juga 

Bank-bank BUMN juga termasuk bank syariahnya sudah mengembangkan layanan bank digital atau disebut juga sebagai neo bank.

Pesohor global mulai dari Jeff Bezos, Jack Ma, hingga Presiden India Narendra Mody sangat memperhitungkan masa depan bank digital sebagai sentral layanan industri keuangan masa depan.

Ada sejumlah alasan mengapa bank digital ini menjadi sangat penting bagi masa depan ekonomi nasional. 

Pertama, kebiasaan dan tuntutan masyarakat berubah. Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tren publik atas layanan perbankan digital semakin tinggi, terutama setelah pandemi terjadi.

OJK menyebutkan, sebanyak 35 persen nasabah ingin bisa mengajukan kredit secara online. Sebanyak 41 persen nasabah ingin bisa mengakses mutasi rekening jauh lebih panjang ke belakang.

Sebanyak 42 persen nasabah ingin bisa membuka rekening secara daring. Jadi, mulai pembukaan rekening bank hingga transaksi keuangan diharapkan bisa dilakukan secara online.

Kedua, pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia termasuk tertinggi di Asia. Nilai ekonomi dari pertumbuhan internet ini meningkat tajam.

Dari data McKinsey Global Banking, nilai ekonomi dari perkembangan internet di Indonesia pada 2015 hanya 8 miliar dolar AS, naik menjadi 40 miliar dolar pada 2019, dan diprediksi naik menjadi 133 miliar dolar pada 2025.

Hal ini tak mengherankan jika melihat faktor ketiga dari alasan bakal melesatnya layanan bank digital di Indonesia: pemilikan ponsel yang terus naik.

Tercatat, ada 355 juta ponsel yang dimiliki warga Indonesia, dengan 60 persennya berbentuk ponsel cerdas. Dari jumlah itu, ada 160 juta warga Indonesia yang tercatat sebagai pengguna aktif internet.

Total 61 persen dari pengguna internet tersebut, memanfaatkan layanan perbankan mobile (mobile banking). Hal ini membuat industri perbankan harus melakukan konsolidasi dan masuk jauh ke dalam bank digital atau neo bank atau bank internet.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement