Monday, 21 Jumadil Akhir 1446 / 23 December 2024

Monday, 21 Jumadil Akhir 1446 / 23 December 2024

Peneliti: Ada Tiga Kerawanan dalam Sengketa Pilkada

Senin 04 Jan 2021 18:21 WIB

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita

Sengketa Pilkada. Ada tiga kerawanan dalam tahapan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK), mulai dari ancaman penyebaran Covid-19, konflik atau gangguan keamanan, hingga potensi suap kepada yang mulia hakim MK.

Sengketa Pilkada. Ada tiga kerawanan dalam tahapan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK), mulai dari ancaman penyebaran Covid-19, konflik atau gangguan keamanan, hingga potensi suap kepada yang mulia hakim MK.

Foto: Republika
Pengawasan publik sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap tindakan penyimpan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, sedikitnya ada tiga kerawanan dalam tahapan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK). Mulai dari ancaman penyebaran Covid-19, konflik atau gangguan keamanan, hingga potensi suap kepada yang mulia hakim MK. 

"Apalagi pascarevisi Undang-Undang MK yang cukup kontroversial dan keberhasilan MK membangun kepercayaan publik terhadap sengketa hasil jangan sampai tercederai akibat kesalahan yang pernah menimpa Akil Mochtar," ujar Ihsan kepada Republika, Senin (4/1). 

Baca Juga

Mantan ketua MK Akil Mochtar terbukti menerima hadiah atau janji terkait penanganan sengketa hasil pilkada dan tindak pidana pencucian uang pada 2013 silam. Ihsan mengatakan, modus suap dalam sengketa hasil yang kerap terjadi misalnya jual beli putusan agar hakim mengabulkan atau menolak permohonan. 

Ihsan mengatakan, kerawanan suap berpotensi muncul saat pemeriksaan pendahuluan atau putusan akhir. Pasangan calon (paslon) yang berperkara memanfaatkan tahapan ini untuk menyuap hakim MK. 

Menurut Ihsan, kasus pidana mantan Ketua MK Akil Mochtar membuat MK berupaya membangun kepercayaan publik. Sebagai lembaga peradilan yang putusannya bersifat final dan mengikat, diharapkan kasus Akil Mochar menjadi yang terakhir dalam sejarah peradilan MK. 

Ia juga berharap MK memastikan persidangan berjalan secara transparan agar publik dapat ikut mengawasi. Pengawasan publik ini sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap tindakan penyimpangan dalam penanganan perkara sengketa pilkada. 

Namun, kata Ihsan, pelanggaran kode etik masih terjadi di tubuh MK dan menjadi hal yang harus diantisipasi. Misalnya pelanggaran kode etik ringan oleh Arief Hidayat yang bertemu pimpinan Komisi III DPR RI sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi pada 2017 lalu. 

Pelanggaran kode etik ini berujung pada sanksi berupa teguran lisan Dewan Etik MK kepada Arief. Ihsan mendorong para hakim profesional dan menjaga etika dalam melaksanakan tugasnya mengadili perkara termasuk penanganan sengketa hasil pilkada. 

"Pascarevisi UU MK dan berdampak pada masa jabatan hakim yang lebih lama, harapannya mereka akan lebih profesional dalam menangani sengketa, bukan sebaliknya malah membuka ruang-ruang yang memang diketahui dapat menguntungkan hakim di luar prosedur hukum yang berlaku," kata Ihsan. 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler