REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya mengatakan penerima bantuan sosial memiliki konsumsi rokok, secara nilai dan kuantitas, lebih besar dibandingkan bukan penerima bantuan sosial. "Kajian PKJS-UI menemukan penerima bantuan sosial berkorelasi positif dengan perilaku merokok, dengan efek tertinggi terjadi pada penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang didistribusikan secara tunai," kata Aryana melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (8/1).
Aryana mengatakan penerima PKH memiliki peluang 11 persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PKH. Sementara itu, penerima Program Indonesia Pintar (PIP) memiliki peluang sembilan persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PIP.
"Penerima PKH memiliki pengeluaran untuk rokok Rp3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi dibandingkan dengan bukan penerima PKH," tuturnya.
Aryana mengatakan secara konseptual bantuan sosial akan meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga kebutuhan sehari-hari dapat lebih tercukupi, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi untuk barang lain seperti rokok. "Tambahan pendapatan dari bantuan sosial dapat digunakan untuk membiayai konsumsi rokok," ujarnya.
Karena itu, PKJS-UI mendukung Presiden Joko Widodo dan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang melarang bantuan sosial tunai digunakan untuk membeli rokok. Harga rokok yang relatif murah dan masih bisa dijangkau masyarakat miskin juga menjadi salah satu permasalahan.
Aryana mengatakan kenaikan harga rokok melalui mekanisme kenaikan cukai hasil tembakau dan harga jual eceran sangat diperlukan untuk menjauhkan keterjangkauan kelompok rentan, termasuk anak dan remaja, dari membeli rokok. "Pengendalian konsumsi rokok melalui kenaikan harga rokok yang signifikan dapat membuat program bantuan sosial yang dimiliki pemerintah akan lebih efektif, sesuai target," katanya.