REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior
Perpolitikan Malaysia yang dalam kesejarahannya kerap dinilai berkarakter khas Inggris alias the British Style politics yang berarti selalu konsisten menegakkan hukum berada di atas pertimbangan politik, pekan lalu sontak memperagakan inkonsistensi yang sangat mengejutkan. Malaysia secara mendadak mengumumkan situasi darurat politik.
Mari kita kilas balik sejenak. Pada Oktober 2020 lalu, Raja Malaysia (Yang di-Pertuan Agong Sultan Abdullah) pernah menolak desakan Perdana Menteri Tan Sri Muhyiddin Yassin untuk menyatakan Situasi Darurat dengan dalih untuk mencegah peningkatan wabah Covid-19. Namun sayangnya, 12 Januari 2021 kemarin, Sultan Abdullah berpandangan lain, wabah penyakit menular Covid-19 saat ini berada keadaan yang sangat kritis dan Yang di-Pertuan Agong kali ini menyetujui pemerintah untuk menyatakan Situasi Darurat.
Mengingat kenyataan perpolitikan Malaysia, di mana Tan Sri Muhyiddin Yassin baru menjadi Perdana Menteri Malaysia pada 1 Maret 2020 lalu setelah mundurnya Mahathir Mohamad, rasanya sulit untuk tidak curiga bahwa di balik keputusan untuk menyatakan Situasi Darurat Malaysia tersebut adalah untuk mempertahankan status quo pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin. Apalagi ketika dicermati secara seksama dinamika politik yang berkembang di parlemen Malaysia beberapa waktu terakhir ini, Muhyiddin sangat potensial tergusur dan digantikan Anwar Ibrahim yang mengklaim memiliki dukungan politik yang cukup untuk menjadi Perdana Menteri baru.
Berdasarkan beberapa kalkulasi politik yang diolah dari berbagai sumber, Anwar saat ini secara definitif menguasai 91 kursi koalisi Pakatan Harapan yang dia pimpin. Jumlah tersebut kemungkinan akan semakin bertambah seiring dengan dukungan suara tambahan dari internal partai UMNO (United Malays National Organisation) yang diketahui berpecah pandangan soal Anwar.
Berarti jika kalkulasi tersebut tidak meleset, maka Anwar Ibrahim diprediksi bakal menguasai 130 kursi parlemen. Padahal dari total 220 jumlah kursi di parlemen, Anwar cukup menguasai minimal 112 kursi untuk menguasai mayoritas suara. Inikah yang akhirnya mendorong Yang di-Pertuan Agong merestui pemerintahan Muhyiddin Yasin mengumumkan negara dalam Situasi Darurat? Entahlah, hingga kini tidak ada yang mengetahui motivasi Yang di-Pertuan Agong menyetujui hal tersebut.
Namun yang jelas, implikasi dari diproklamirkannya Situasi Darurat tersebut hingga 1 Agustus 2021 mendatang. Maka baik pemilu nasional maupun negara bagian otomatis akan ditiadakan dengan dalih untuk mencegah semakin meningkatnya wabah Covid-19.
Berarti, konstelasi politik yang semula dinamis dan penuh dengan berbagai kemungkinan baru yang tak terduga ke depan, bakal dalam keadaan status quo. Termasuk pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin yang bakal berkuasa terus, setidaknya selama masa darurat diberlakukan.
Ada dua masalah krusial yang akan menghadang Malaysia beberapa waktu mendatang, manakala Situasi Darurat secara sadar dan terencana memang dimaksudkan untuk menjegal peluang pesaing politik memenangi konstestasi politik. Pertama, Malaysia yang memiliki the Bristih Style Politics dan selama ini cenderung menempatkan hukum sebagai panglima di atas pertimbangan politik, kali ini mulai memperlihatkan tanda-tanda kebangkrutannya.
Kedua, lembaga Kerajaan yang dipersonifikasikan oleh Yang Dipertuan Agung Raja Malaysia yang selama ini secara substantif merupakan pusat keseimbangan politik, jika berpihak pada salah satu faksi politik, pada perkembangannya ke depan bukan saja hanya bisa berpotensi kehilangan legitimasi politik, tetapi juga legitimasi moral budaya. Mengingat fakta bahwa Yang di-Pertuan Agong merupakan representasi sekaligus personifikasi para sultan dari berbagai negara bagian di Malaysia yang harus netral dan bijaksana dalam menyikapi perkembangan politik dan demokrasi.