Ahad 24 Jan 2021 10:24 WIB

Media Sosial akan Terus Jadi Alat Propaganda

Setidaknya ada 9 cara mengetahui berita itu merupakan hoaks atau ujaran kebencian.

Rety Palupi MIKom, dosen Prodi Hubungan Masyarakat kampus UBSI.
Foto: Dok UBSI
Rety Palupi MIKom, dosen Prodi Hubungan Masyarakat kampus UBSI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Rety Palupi  MIKom

 

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi melaju dengan begitu pesat. Kini banyak orang-orang dengan mudah menjadi jurnalis dan komentator amatiran di media sosial. Walaupun tidak semuanya mendapatkan dasar ilmu di bidang tersebut.

Siapa saja mampu merespons   informasi yang tersebar dengan cepat. Bahkan mendadak menjadi seorang jurnalis fotografi yang mampu menyebarkan informasi ataupun berita yang diperkuat dengan dokumentasi gambar.

Jika terus terjadi seperti yang diceritakan diatas, tanpa berbanding lurus dengan ilmu yang dimiliki, tidak heran jika kini banyak bertebaran berita bohong (hoaks) dan berita penebar kebencian (hate speech).

Dengan kemajuan informasi yang begitu cepat, publik difasilitasi oleh teknologi yang dapat memperburuk keadaan. Berita hoaks dan ujaran kebencian dapat begitu mudah tersebar dengan adanya media sosial seperti Facebook, Twitter, ataupun aplikasi mobile phone seperti WhatsApp, Line, dan sebagainya. Di mana pada media-media komunikasi dan informasi tersebut tidak dapat dilakukan filtrasi di awal.

Dampaknya adalah jika berita hoaks  dan ujaran kebencian tersebut dilihat oleh orang-orang yang mudah percaya, maka akan disebarkan kembali melalui media sosial ataupun messanger application yang dimilikinya.

Dan hal ini akan terjadi terus-menerus, dan berulang. Akibatnya banyak publik yang terpengaruh dengan berita hoaks  dan ujaran kebencian.  Dampak yang lebih besar adalah, memungkinkan adanya penggiringan opini yang dapat menyudutkan satu pihak atau menimbulkan kepanikan.

Suatu fenomena pemberitaan hoks  dan ujaran kebencian  yang sudah cukup meluas. Hoaks  dan ujaran kebencian  banyak tersebar melalui media sosial ataupun broadcast messanger yang dapat memberikan efek propaganda terhadap pembacanya.

Menariknya, media sosial  berperan penting dalam penyebaran hoaks  dan ujaran kebencian. Sebab, media sosial adalah sebuah media online, yang  para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi.

Sebuah pertanyaan besar muncul mengenai bagaimana cara mengetahui berita tersebut merupakan hoaks atau ujaran kebencian yang menuju pada propaganda? Perlu diketahui bahwa propaganda rawan terhadap praktik-praktik penipuan yang biasa dilakukan melalui propaganda yang perlu diwaspadai seseorang.

Setidaknya ada 9 cara mengetahui berita tersebut merupakan hoaks  atau ujaran kebencian yang menuju pada propaganda di antaranya memberi julukan atau name calling, gemerlap atau glittering generalities, pengalihan atau transfer, pengakuan atau testimonial, flain folks, pengikut atau bandwagon, mamakai fakta atau card stacking, kecurigaan penuh emosi atau emotional stereotype, dan retorika.

Memberi julukan atau name calling yakni cara yang digunakann untuk menjelek-jelekan sessorang dengan memberi gelaran yang lucu atau sinis sehingga orang yang dipengaruhi benar-benar yakin. Misalkan “dia itu cerdik seperti Abu Nawa, dia berperilaku sama seperti Yahudi, dan sebagainya.”

Gemerlap atau glittering generalities yakni propaganda yang menggunakan kata-kata bombastis sehingga orang tanpa sadar mengikutinya. Misalkan “mohon maaf kepada warga Jakarta atas kemacetan lalu lintas karena simpatisan partai X yang telah membludak. Karena jika kita telaah lebih jauh, tanpa adanya simpatisan partai X, Jakarta memang sering macet.”

Pengalihan atau transfer yakni teknik propaganda yang dilakukan dengan cara pengalihan pada objek lain. Sedangkan untuk pengakuan atau testimonial adalah teknik pengakuan dengan menggunakan nama orang terkenal seperti bintang film dan olahragawan, meskipun sebenarnya yang bersangkutan tidak memakainya.

Flain folks yaitu teknik yang sering dipakai politisi untuk mempengaruhi orang banyak. Contohnya “walaupun tokoh tersebut sudah menjadi orang penting, namun tetap bermasyarakat seperti orang-orang pada umumnya.”

Pengikut atau bandwagon yakni teknik yang ditujukan kepada orang-orang yang berpengaruh seperti kepala kantor, pemimpin partai, kepala desa, dan lain sebagainya. Sedangkan  fakta atau card stacking digunakan untuk mencoba mengemukakan fakta untuk meyakinkan orang lain. Misalkan “dibalik berita itu, ia menutupi kekurangan yang dimilikinya.”

Kecurigaan penuh emosi atau emotional stereotype yaitu teknik propaganda untuk menumbuhkan rasa curiga yang penuh emosi. Misalnya memberi penanaman kepercayaan yang bersifat negative karena stereotip seperti etnis, agama, dan keturunan.

Retorika yakni teknik yang digunakan dengan memilih kata-kata yang bisa menarik seseorang sehingga orang itu bisa menuruti kehendaknya. Faktanya bahwa berita hoaks  dan ujaran kebencian  terdiri dari unsur-unsur berlebihan, retorika, pengakuan dan pengaruh pada berbagai pihak, serta prasangka yang dilengkapi dengan emosi.

*) Penulis adalah dosen Prodi Hubungan Masyarakat kampus UBSI.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement