REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti Pasal 16 ayat 7 dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) per 26 November 2020. Pasal ini berisi ketentuan komposisi keanggotaan KPU memperhatikan keterwakilan partai politik (parpol) secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.
"Dalam RUU Pemilu ini ada ketentuan kontroversial dalam Pasal 16 ayat (7), yang berbunyi: Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan Partai Politik secara proporsional berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya," ujar Titi kepada Republika.co.id pada Ahad (24/1).
Padahal, dalam Pasal 13 ayat 4 disebutkan, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam menyelenggarakan pemilu. Ketentuan ini berada dalam Buku Kedua tentang Penyelenggara Pemilu pada BAB I terkait kedudukan, susunan, dan keanggotaan KPU.
Menurut Titi, bunyi rancangan norma Pasal 16 ayat 7 bisa menimbulkan kontroversi dan spekulasi ada upaya melanggengkan kekuasaan oleh kekuatan politik yang ada saat ini. Upaya menempatkan perwakilan parpol di lembaga penyelenggara pemilu melalui RUU Pemilu.
Titi mengatakan, Pasal 16 ayat 7 dalam naskah RUU Pemilu jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011. Putusan ini mengatur keharusan masa jeda paling sedikit lima tahun bagi mantan anggota parpol yang ingin menjadi anggota KPU. "Memasukkan perwakilan parpol sebagai penyelenggara pemilu juga tidak akan menyelesaikan permasalahan kelembagaan yang dihadapi penyelenggara pemilu kita saat ini," kata Titi.
Ia menuturkan, Pasal 16 ayat 7 merupakan ketentuan baru yang tidak ada sebelumnya pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurut Titi, norma ini akan membawa kemunduran KPU kepada kondisi kegaduhan pemilu seperti Pemilu 1999 silam.
Ia berharap, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang sedang melakukan proses harmonisasi terhadap RUU Pemilu ini bisa meluruskan Pasal 16 ayat 7 itu. "Semoga pasal tersebut hanya tercecer dan bisa segera dikoreksi oleh Baleg DPR," tutur Titi.