REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draf revisi Undang-Undang Pemilu mengatur jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar 2022 dan 2023. Menanggapi itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyatakan bahwa Partai Demokrat menyetujui hal tersebut.
"Demokrat setuju normalisasi penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu, termasuk di dalamnya Pilkada DKI digelar pada 2022," kata Herzaky kepada Republika, Rabu (27/1).
Ia menjelaskan, Pilkada merupakan momentum bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, ia melihat perlu ada waktu dan kesempatan cukup bagi masyarakat untuk mendalami dan memahami sosok dan jejak rekam para calon kepala daerahnya, sebelum memutuskan pilihannya.
"Masyarakat mesti memiliki kesempatan mengetahui dan mempelajari visi, misi, dan program kerja dari tiap kepala daerah," ujarnya.
Menurutnya, jika pilkada digelar serentak dengan pilpres, maka momentum untuk mencari kepala daerah berkualitas akan sulit lantaran euforia pileg akan tenggelam dengan pilpres. Sebab, ia menilai pilpres memiliki daya magnet yang luar biasa ketimbang pileg.
"Keserentakan pilpres dan pileg di 2019 lalu, memberikan contoh nyata bagaimana pileg tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres. Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada yang bakal dilaksanakan berdekatan dengan pilpres," tuturnya.
Ia juga menambahkan, jika pilkada digelar serentak dengan pilpres pada 2024 maka pertarungan di pilkada pun bisa jadi bukan lagi politik gagasan, melainkan kompleksitas kompetisinya bisa memunculkan godaan melakukan tindakan-tindakan ilegal seperti politik uang, politik identitas, maupun penyalahgunaan kekuasaan.
"Apalagi jika kita mempertimbangkan lamanya masa jabatan penjabat kepala daerah di sebagian besar wilayah Indonesia jika Pilkada 2022 dan 2023 ditunda ke tahun 2024," ungkapnya.
Demokrat mengingatkan, bahwa demokrasi merupakan proses bersama. Oleh karena itu, apa pun kesepakatannya antarparpol di parlemen sebaiknya dikedepankan.
"Jangan sampai pula, ada pihak-pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 hanya karena ada kepentingan pragmatis atau agenda terselubung yang tidak pro rakyat, bahkan merugikan rakyat. Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," ungkapnya.