REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyepakati dan menetapkan perubahan cuti bersama tahun 2021 yang semula tujuh menjadi dua hari. Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani menyambut baik pengurangan hari libur ini sebagai upaya antisipasi dalam menghadapi lonjakan kasus Covid-19 usai libur.
"Saya kira ini menjadi langkah antisipasi pemerintah sejak jauh-jauh hari karena memang situasi pandemi seperti ini belum bisa diprediksi," kata Laura saat dihubungi Republika, Senin (22/2).
Ia menilai keputusan pemerintah untuk memperpendek hari libur cukup baik untuk mengurangi mobilisasi masyarakat. Ia berharap kebijakan ini bisa mengendalikan kasus dan kasus tidak melonjak.
Pemerintah juga dinilai lebih baik dibandingkan sebelumnya karena tidak mendadak mengeluarkan kebijakan libur. Saat itu, dia melanjutkan, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang terkesan mendadak dan banyak orang merugi karena terlanjur memesan tiket. Kemudian, masyarakat diberikan informasi pemangkasan libur dan cuti jauh lebih awal.
Dengan penetapan libur jauh-jauh hari, ia menilai masyarakat, pengusaha travel, pariwisata juga bisa berpikir upaya apa yang harus dilakukan jika tidak terjadi libur panjang. Diharapkan, baik masyarakat maupun pengusaha tidak mengalami kerugian.
Kendati demikian Laura menyadari, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini pasti memunculkan pro dan kontra. Termasuk ekonomi yang bisa semakin terpuruk karena biasanya tempat wisata justru mendapatkan keuntungan dikunjungi masyarakat saat libur.
"Tetapi kalau ditanya sebagai epidemiolog, saya sepakat ketika diberlakukan pemangkasan libur ini karena untuk memutus rantai penyebaran. Rantai penyebaran ini bisa diputuskan ketika mobilisasinya bisa ditekan, salah satu bentuk menekan mobilisasi masyarakat ini dengan memangkas libur panjang," katanya.
Ia meminta semua pihak bersabar karena situasi saat ini masih pandemi dan pastinya tidak ingin terjadi ledakan kasus Covid-19 usai libur panjang. Ia mencatat, kasus Covid-19 meningkat usai libur panjang sebesar 20,30 bahkan 50 persen. Jadi harapannya masyarakat juga mendukung apa yang dikeluarkan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan ini, setidaknya hingga vaksinasi merata diberikan.
Di lain pihak, Laura meminta konsistensi dari pemerintah. "Jangan sampai mengubah kebijakan, misalnya menambah libur sehingga masyarakat menjadi bingung. Sebab, ini terkesan antara membolehkan atau tidak membolehkan," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah telah menyepakati dan menetapkan perubahan cuti bersama tahun 2021. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2021.
Hal itu diputuskan dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Peninjauan SKB Cuti Bersama tahun 2021 yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, dan dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negar Reformasi Birokrasi (PAN RB) Tjahjo Kumolo, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Sekjen Kemenag Nizar Ali, Sekjen Kemnaker, Asops Kapolri dan Pejabat Eselon 1 kementerian/lembaga terkait.
"Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) sebelumnya terdapat tujuh hari cuti bersama. Setelah dilakukan peninjauan kembali SKB, maka cuti bersama dikurangi dari semula tujuh hari menjadi hanya tinggal dua hari saja" ujar Menko PMK dalam Rapat Koordinasi di Kantor Kemenko PMK, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin.