Senin 01 Mar 2021 09:54 WIB

Artidjo Alkostar Sebuah Kitab Keadilan

Artidjo kitab keadilan Indonesia.

Presiden Jokowi takziah ke Masjid Ulil Albab UII, Senin (1/3), menyalati almarhum Artidjo Alkostar.   Foto: BPMI
Foto: istimewa
Presiden Jokowi takziah ke Masjid Ulil Albab UII, Senin (1/3), menyalati almarhum Artidjo Alkostar. Foto: BPMI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hamid Basyaib, Jurnalis Senior dan Mantan Wartawan Republika

Gambaran apa yang muncul di benak Anda setiap mendengar profesi pengacara dan kepengacaraan? Apa pun citra itu, Artidjo Alkostar menghancurkannya berkeping-keping. 

Sebagai pengacara hingga akhir 1990-an, berkantor di bangunan semipermanen berdinding gedek di pinggiran Jogja, ia tak pernah merundingkan biaya jasa kepada kliennya. Suatu kali seorang klien yang perkaranya menang, kebingungan. Ia merasa harus berterima kasih atas layanan hukum Artidjo. 

Ia berasal dari Madura dan tinggal di Kulonprogo. Jika memberi uang, ia khawatir jumlahnya terlalu kecil dan bisa menyinggung perasaan si pengacara. Untuk memberi honor besar, ia tak punya cukup uang. Tiadanya kesepakatan mengenai besaran fee membuatnya repot dan serbasalah. 

Akhirnya, ia mendapat ide cemerlang: ia akan memberi sepotong jimat sebagai imbalan kepada si pengacara yang ia duga menyukai hal semacam itu mengingat latar belakang komunitas dan daerahnya, Madura-Situbondo. "Saya bilang kepada dia, kamu bawa pulang saja barang milikmu ini," tutur Artidjo kepada kawan-kawannya dengan terkekeh. "Saya tidak percaya dengan jimat-jimatan."

Bagi Artidjo, jasa hukum bukanlah hal yang pantas dirundingkan, apalagi dengan tawar-menawar. Jika klien puas dengan layanan  jasanya, mereka boleh membayar seikhlasnya. Bila mereka tak membayar, tidak mengapa. 

Baca juga : Takziah ke UII, Jokowi Sholati Almarhum Artidjo Alkostar

Seorang dosen yang menjadi kliennya sangat bahagia karena menang di pengadilan. Dua mantan mahasiswa Artidjo yang bekerja di firma hukumnya berinisiatif menagih bayaran kepada klien yang gembira itu. Ini hal yang sepenuhnya lumrah. Semua orang mafhum belaka dengan adat istiadat di dunia bisnis jasa seperti lawyering, yang kemahalannya justru cenderung dimaklumi.

Dua pengacara muda itu sangat terkejut menerima akibat tindakan normal mereka. Si klien menelepon Artidjo dan memberi tahu soal penagihan biaya pengacara. Artidjo kontan memecat dua pengacara itu. "Mereka bikin malu," katanya. "Kalau klien mau membayar, silakan saja. Tapi, jangan ditagih-tagih!"

Meski kantor hukumnya sulit dibedakan dari yayasan amal, tak banyak klien yang meminta jasanya untuk mewakili mereka. Mereka tahu: jika menyerahkan perkara kepadanya, mereka harus lebih siap untuk kalah daripada menang.

Mereka tahu: Artidjo tidak disukai oleh semua instansi hukum maupun lembaga-lembaga lain, sebagai ekor dari aksi-aksi pembelaan heroiknya yang "nekat" terhadap para korban "penembakan misterius" (petrus, pertengahan 1980-an; suatu aksi ekstralegal di seluruh Indonesia yang dimulai di Jogja).

Waktu itu ia direktur LBH Jogja, dan gencar mengecam tindakan ekstralegal yang sepenuhnya menginjak-injak tatanan hukum-- mayat para preman setiap hari ditemukan warga di sungai, sudut jalan dan tempat-tempat terbuka, dengan kepala dan tubuh penuh lubang peluru, setelah mereka diculik dari rumah atau diringkus di tempat-tempat hiburan.

Baca juga : 9 Tanda Anda Mungkin Pernah Terkena Covid-19 tanpa Sadar

Tidak ada pihak yang menyatakan diri sebagai pelaku pembunuhan biadab itu, tapi Artidjo, seperti semua orang, tahu siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan operasi bersenjata semacam itu.

Sepanjang hidupnya, ia mengamalkan kejujuran dan integritas tak kenal ampun. Bahkan, kematiannya pun memahat sebuah prasasti keikhlasan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement