REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpres terkait kelonggaran investasi minuman keras di Indonesia tidak aspiratif. Hal itu terbukti dengan adanya penolakan yang tidak hanya dari kalangan Islam, seperti ormas Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Demikian penilaian Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga. "Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) juga tegas menolak kebijakan Jokowi tersebut. Bahkan, MRP mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal," ujar Jamiluddin dalam pesan singkatnya, Senin (1/3).
Menurutnya, penolakan dari berbagai elemen masyarakat mencerminkan Perpres Nomor 10 tahun 2021 tidak aspiratif. Hal itu juga terlihat dari pengakuan pihak MRP, yang merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Perpres tersebut.
Hal ini menguatkan dugaan, Perpres ini disusun tidak melibatkan pemangku kepentingan. Padahal, kata Ritonga, dalam negara demokrasi, semestinya setiap penyusunan regulasi melibatkan rakyat.
Pelibatan rakyat sebagai perwujudan prinsif demokrasi dari rakyat untuk rakyat. Kalau Perpres disusun tanpa pelibatan rakyat, maka prinsif demokrasi sudah dingkari. Hal ini tentu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di tanah air.
Baca juga : Miras Suku Indian dan Miras Papua
"Karena Perpres tersebut sangat tidak aspiratif, maka pemerintah seyogyanya berlapang dada mencabutnya. Itu kalau pemerintah ini masih mengakui rakyat sebagai pemilik kedaulatan di Indonesia," tutur Ritonga.