REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller.
“Suatu saat kalian akan memilih pilihan hidup seperti yang saya pilih,” katanya pelan namun menyiratkan ancaman. Pilihan hidup seperti apa itu?
Ia adalah seorang professor ilmu psikologi lulusan Harvard, mengajar di American University, menulis sejumlah buku dan jurnal ilmiah, penemu prototype awal lie detector dan sederet prestasi hebat lainnya.
Hidupnya pun awalnya normal-normal saja, menikah dan punya 4 orang anak. Hingga suatu kali istrinya “jatuh cinta” pada mahasiswinya. Lalu ia pun turut jatuh cinta pada perempuan yang sama.
Ketiganya memutuskan tinggal bersama dalam ikatan yang disebut poliamori. Paliamori adalah pasangan lebih dari satu orang, tidak masalah apa saja jenis kelaminnya, dan tidak terikat dalam pernikahan.
Amerika di tahun awal tahun 1940-an belumlah seperti hari ini. Pilihan hidup itu jelas menuai hujatan dari masyarakat. Kariernya sebagai akademisi tamat. Ia pun dikucilkan oleh lingkungannya. Hingga muncullah ancaman yang diucapkannya itu.
Apa yang ia lakukan untuk mewujudkannya? Dengan ilmu psikologi yang dimilikinya, ia membuat karakter komik yang kemudian booming dan menjadi salah satu superhero yang sangat terkenal, bahkan disukai anak-anak.
Dunia mengenal karakter komik itu dengan nama Wonder Woman. Dan pembuat karakternya adalah William Moulton Marston.
Di kemudian hari diketahui kalau karakter superhero perempuan ini mempunyai agenda tersembunyi, yakni promosi gaya hidup LG*T, seperti yang dilakoni istrinya.
Berhasilkah misinya? Kita menyaksikan apa yang terjadi hari ini. Tak butuh waktu lama, “ancamannya” terbukti. Dari Amerika, gaya hidup itu menyebar ke seluruh dunia.
Mengapa tokoh rekaan seperti itu laku keras dan diterima ? Karena dalam kehidupan nyata, mereka tak pernah benar-benar mempunyai pahlawan yang bisa dicontoh. Hingga perlu menciptakan sosok superhero.
Orang-orang yang mereka sebuat pahlawan, tangannya terlalu berlumuran darah. Hingga tokoh-tokoh fiktif dengan segala agenda mendapat panggungnya.
Ini berbeda dengan Islam. Islam mempunyai 'the real' superhero yang tak terhitung jumlahnya. Dari generasi terbaik para sahabat, hingga orang-orang hebat yang namanya tercatat dalam sejarah. Mereka inilah role model sesungguhnya.
Dalam teori psikologi disebutkan, keberadaan role model atau tokoh panutan ini akan memberikan gambaran tentang mimpi dan masa depan yang ingin diraih. Keberhasilan role model akan ditiru dan menjadi goal masa depan.
Dengan memiliki role model, seseorang akan menemukan apa yang menjadi minat, bakat dan potensinya, serta tahu kelebihan dan kekurangan dirinya. Ia akan berusaha mengasah potensinya hingga berhasil seperti panutannya.
Terbayang kalau yang dijadikan role model itu adalah para sahabat mulia yang dijamin surga atau pahlawan Islam lainnya.
Anak-anak akan mempersonifikasi dirinya menjadi sosok yang adil seperti Umar ibn Khattab. Pemberani seperti Khalid ibn Walid. Cerdas seperti Imam Syafii. Bijak seperti Khalifah Harun Al Rasyid. Tangguh seperti Ibunda Khadijah.
Mereka akan meniru, di usia berapa para panutan itu mencatatkan prestasinya. Seperti apa perjuangannya. Semangat tak mudah menyerah akan terinternalisasi dalam dirinya, hingga akhirnya membentuk karakter dan kepribadiannya.
MasyaAllah!
Mereka yang mengenali siapa pahlawannya, tak akan sesat jalan tersebab salah panutan.
Jakarta, 9/3/2021