REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Ya hhya Al-Sinwar telah terpilih kembali untuk memimpin Hamas di Jalur Gaza untuk masa jabatan kedua, Rabu (10/3). Kemenangan ini mencerminkan kendalinya atas sayap politik dan militer kelompok Islam yang mengatur kantong Palestina.
"Kemenangan Sinwar menunjukkan bahwa pria itu mempertahankan cengkeraman yang kuat pada hal-hal di dalam gerakan, terutama dalam komponen vitalnya seperti sayap militer," kata analis politik Gaza Adnan Abu Amer.
Sinwar merupakan pemimpin Hamas di Gaza sejak 2017. Dia dibebaskan dalam penukaran tahanan 2011 dengan Israel setelah menghabiskan lebih dari 20 tahun di balik jeruji. Penahanan tersebut terjadi akibat tuduhan yang termasuk pembunuhan informan yang diduga terhadap militan Palestina.
Sementara Sinwar mendukung pertentangan Hamas terhadap ko-eksistensi dengan Israel, dia telah mempertahankan kebuntuan yang relatif stabil di perbatasan Gaza. Dia juga mencari ikatan lebih baik dengan Mesir di sepanjang perbatasan dengan Gaza, sebuah wilayah pesisir Mediterania kecil.
"Kemenangan akan memungkinkan Sinwar untuk mengejar kebijakannya, baik di dalam Gaza atau dengan negara-negara regional dan penanganan konflik dengan Israel," kata Amer.
Dlam pemilihan tersebut hanya terbuka untuk anggota Hamas termasuk yang ada di penjara Israel. Penantang utama Sinwar kali ini adalah Nizar Awadallah. Dia adalah pejabat lama dan negosiator dari kesepakatan pertukaran tahanan 2011.
Dalam sebuah pernyataan, Awadallah menekankan dukungannya untuk Sinwar. "Kami berdiri di sisinya di setiap posisi untuk mencapai tujuan proyek kami dan gerakan kami," ujarnya.
Hamas hingga saat ini belum memilih pemimpin untuk Tepi Barat yang diduduki Israel. Sumber mengatakan, identitasnya akan dirahasiakan sebagai perlindungan terhadap Israel atau administrasi Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, yang merupakan saingan Hamas.
Mengisi posisi kepala politik Hamas, yang juga berbicara untuk sayap militernya, akan membutuhkan lebih banyak waktu. Pemimpin keseluruhan Hamas adalah Ismail Haniyeh yang juga berbasis di Gaza.
Haniyeh menghadapi tantangan dari mantan kepala kelompok itu, Khaled Meshaal, yang tinggal di Qatar untuk merebut posisinya.