Jumat 12 Mar 2021 09:24 WIB

Pelapor PBB: 70 Orang Meninggal Selama Kudeta Myanmar

Pelapor PBB sebut banyak bukti terkait kekejaman pasukan keamanan Myanmar.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Massa membawa tameng saat berunjuk rasa menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, Selasa (9/3).
Foto: AP
Massa membawa tameng saat berunjuk rasa menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, Selasa (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengecam militer negara itu atas pembunuhan sedikitnya 70 orang sejak protes meletus, Kamis (11/3). Semakin banyak bukti kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, penganiayaan, dan penyiksaan yang diperlihatkan setelah kudeta 1 Februari.

"Ada banyak bukti video tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat," ujar Andrews dikutip dari Aljazirah.

Baca Juga

Andrews mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB bahwa Myanmar sedang dikendalikan oleh rezim yang membunuh dan ilegal. Lebih dari setengah dari demonstran yang meninggal berusia di bawah 25 tahun.

Lebih dari 2.000 orang telah ditahan secara tidak sah sejak kudeta dan kekerasan terus meningkat. "Ada video tentara dan polisi yang secara sistematis bergerak melalui lingkungan, menghancurkan properti, menjarah toko, menangkap pengunjuk rasa dan pejalan kaki secara sewenang-wenang, dan menembak tanpa pandang bulu ke rumah-rumah orang,” kata Andrews.

Andrews menyerukan agar sanksi multilateral dijatuhkan pada para pemimpin militer senior dan sumber utama pendapatan negara. "Termasuk perusahaan milik militer dan perusahaan minyak dan gas Myanmar," katanya.

"Seharusnya tidak mengejutkan bahwa ada bukti yang berkembang bahwa militer Myanmar yang sama ini, yang dipimpin oleh kepemimpinan senior yang sama, sekarang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan," ujar Andrews.

Baca juga : In Picture: Sejumlah Kota di Australia Diprediksi tak Bisa Lagi Dihuni

Beberapa jam kemudian, tuduhan Andrewa ditolak Myanmar. "Pihak berwenang telah menahan diri sepenuhnya untuk menangani protes kekerasan," kata sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar, Chan Aye, dalam video.

Sementara, pernyataan tertulis yang dirilis mengatakan, Myanmar sedang mengalami tantangan yang sangat kompleks dan menghadapi situasi yang sulit. Pemerintah yang berkuasa menegaskan bahwa kepemimpinan militer tidak ingin menghentikan transisi demokrasi yang mulai berkembang.

"Dalam hal ini, Myanmar ingin meminta pengertian dari PBB dan komunitas internasional tentang upayanya untuk menjaga kedaulatan, kemerdekaan politik, integritas teritorial, persatuan nasional, dan stabilitas sosial di seluruh negeri," kata Chan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement