REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika seseorang mendapatkan pujian, yang pertama kali perlu diucapkan darinya adalah rasa syukur kepada Allah SWT. Atas nikmat yang diberikan kepadanya, pujian datang menghampiri dari manusia lain. Namun jangan sampai pujian itu justru menjerumuskan ke dalam jurang ketakaburan.
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam menjelaskan: “An-naasu yamdahuunaka lima yazhununa fiika, fakun anta dzaaman linafsika bima ta’lamuhu minha. Al-mukminu idza mudihashataa minallahi an yuntsa alaihi biwashfin laa yashhaduhu min nafsihi. Ajhalu an-naasi man taraka yaqina maa indahu lizhanni maa inda an-naasi idza athlaqa as-tsanaa-a alaika wa lasta bi-ahlin fa-atsni alaihi bimaa huwa ahluhu,”.
Yang artinya: “Orang-orang memujimu sebab kebaikan yang mereka kira ada pada dirimu, maka celakalah dirimu sebab keburukan yang jelas engkau ketahui berada dalam dirimu sendiri. Tatkala dipuji, seorang mukmin akan merasa malu pada Allah sebab dia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati dalam dirinya,”.
“Orang paling bodoh adalah orang yang meninggalkan apa yang menjadi keyakinannya demi apa yang hanya menjadi prasangka orang-orang. Di saat engkau mndapat pujian sementara, engkau merasa tidak pantas atas pujian itu, maka pujilah Zat yang memang layak mendapatkannya,”.
Dijelaskan bahwa, orang-orang yang memberi pujian atas sifat terpuji yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, jangan sampai seorang Mukmin terpesona dengan pujian yang ada. Tapi cela lah diri sendiri, sebab barangkali ada yang tidak sesuai dengan sangkaan manusia terhadap seseorang atas pujian yang diberikan itu.