REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan lembaganya sempat kesulitan melakukan penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II (Persero) Tahun 2010. Pada Jumat (26/3) malam akhirnya RJ Lino, Eks Dirut Pelindo II ditahan setelah 5 tahun menyandang status tersangka dalam kasus tersebut.
Alex membeberkan kesulitan lain yang dihadapi lembaga antirasuah dalam menghitung kerugian negara dalam kasus ini. Alex menyebutkan penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC yang dijual oleh HuangDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM). Diketahui, dalam konstruksi perkara, RJ Lino menunjuk HDHM untuk pengadaan tiga buah QCC.
Bahkan, kata Alex pimpinan KPK periode sebelumnya sempat hendak bertemu dengan pihak inspektorat dari China. Pihaknya hendak menanyakan harga QCC yang dibeli Pelindo dari HDHM.
"Bahkan, Pak Laode dan Pak Agus Rahardjo ke China dan dijanjikan bisa bertemu Menteri atau Jaksa Agung, tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan," ujar Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (26/3) malam.
KPK juga sempat meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara dalam pengadaan tiga QCC di PT Pelindo. Namun, BPK tak bisa melakukan penghitungan karena tidak adanya dokumen pembanding dari perusahaan penjual crane yaitu, HuaDong Heavy Machinery Co Ltd (HDHM) dari China.
“BPK tidak bisa melakukan penghitungan karena ketiadaan dokumen atau data pembanding,” ucapnya.
Akhirnya, kata Alex, KPK memutuskan menggunakan ahli dari ITB untuk mengitung harga pokok produksi QCC tersebut. Ahli ITB itu, ucap Alex, dimintai bantuan untuk merekonstruksi alat QCC dan menghitung total harga pokok produksi.
Menurut ahli ITB bahwa harga pokok produksi tiga crane tersebut hanya 2,9 juta dolar AS untuk QCC Palembang, 3,3 juta dolar AS untuk QCC Panjang, dan 3,3 juta dolar AS untuk Pontianak. Untuk harga kontrak seluruhnya yang dilakukan Pelindo II adalah 15,5 juta dolar AS atau rata-rata 5 juta dolar AS.
Adapun, lanjut Alex, kerugian negara yang dihitung BPK justru dari biaya pemeliharaan crane tersebut. Ia mengatakan kerugian negara dari pemeliharaan itu adalah 22,8 ribu dolar AS.
“Untuk pembangunan dan pengiriman barang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian negara yang pasti, karena bukti pengeluaran riil HDHM tidak diperoleh,” kata dia.
Sementara RJ Lino meskipun merasa senang dengan kepastian hukumnya atas dirinya. Namun, ia merasa tidak adil dengan penetapan tersangka atas perkara yang menjeratnya.
"BPK hanya kasih kerugian negara 22.000 AS dolar pemeliharaan. Saya mau tanya, apa Dirut urusannya maintenance?. Istimewa sekali," ujar RJ Lino di Gedung KPK.
RJ Lino mengaku BPK tidak adil waktu memeriksa dirinya pada tahun lalu. Menurutnya, KPK seharusnya sejak awal sudah menghentikan kasus ini.
"Jadi yang mau saya katakan waktu BPK periksa saya tahun lalu mereka tidak fair, karena tadi Pak Alex (Alexander Marwata) harusnya hentikan kasus ini sejak awal. Karena waktu saya di penyelidikan, saya kasih tau mereka, alat yang saya tunjuk itu. Saya tunjuk langsung, 2 tahun kemudian saya lelang. Yang ikut lelang 10 orang, yang masukkan penawaran 2, barangnya sama persis kebetulan pemenangnya sama, harganya itu 500 ribu dolar AS lebih mahal daripada saya nunjuk langsung," terangnya.
"Jadi kalau BPK fair, harusnya mereka isi itu. Tidak ada kerugian negara. Karena lelang lebih mahal dibanding tunjuk langsung," tambahnya.
KPK resmi menahan RJ Lino sejak Jumat (6/3). RJ Lino bakal menjalani masa tahanan pertamanya selama 20 hari kedepan setelah sempat melenggang bebas selama lebih dari lima tahun pasca-ditetapkan sebagai tersangka. RJ Lino ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung Merah Putih KPK.
Sebelum mendekam di sel tahanannya, RJ Lino bakal bakal menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu selama 14 hari di Rutan Gedung lama KPK. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.
Richard Joost Lino (RJ Lino) tersandung kasus dugaan korupsi pengadaan tiga QCC PT Pelindo II pada anggaran 2010. Dia diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenangnya untuk meperkaya diri sendiri serta koorporasi.
RJ Lino diduga melakukan penunjukan langsung perusahaan asal China, Wuxi Huadong Heavy Machinery Co, Ltd dalam pengadaan tiga QCC yang dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.
Atas perbuatannya, RJ Lino disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
KPK sudah mengusut kasus ini sejak akhir 2015 lalu dan menetapkan RJ Lino sebagai tersangka. Namun, KPK baru melakukan proses penahanan terhadap RJ Lino pada hari ini.