REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet dan penasihat khusus PBB untuk pencegahan genosida Alice Wairimu Nderitu mendesak militer Myanmar segera menghentikan aksi kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Hal itu mereka sampaikan saat jumlah korban tewas di negara tersebut telah mencapai 141 jiwa.
"Tindakan militer dan polisi yang memalukan, pengecut, serta brutal yang difilmkan, menembaki pengunjuk rasa saat mereka melarikan diri, yang bahkan tidak menyelamatkan anak-anak kecil, harus segera dihentikan," kata Bachelet dan Nderitu dalam sebuah pernyataan bersama pada Ahad (28/3), dikutip laman Anadolu Agency.
Mereka turut menyoroti penangkapan sewenang-wenang terhadap ribuan orang di negara tersebut. Banyak di antaranya yang menjadi sasaran penghilangan paksa. "Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyat Myanmar dari kejahatan kekejaman," kata mereka.
Bachelet dan Nderitu menyerukan diakhirinya impunitas sistemik di Myanmar. Hal itu turut mengacu pada kekerasan yang dilakukan militer terhadap etnis Rohingya. "Kegagalan untuk menangani kejahatan kekejaman yang dilakukan Tatmadaw di masa lalu, termasuk terhadap Rohingya dan minoritas lainnya, telah membawa Myanmar ke tingkat yang mengerikan ini," ujar mereka.
Menurut Bachelet dan Nderitu, Myanmar tidak akan pernah bergerak maju, kecuali ada pertanggungjawaban serta reformasi fundamental militer. Mereka mendesak semua pihak, termasuk pejabat yang membelot, polisi, dan perwira militer, untuk bekerja sama dengan mekanisme internasional.
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Baca juga : Terbakar, Produksi Kilang Minyak Balongan Terganggukah?
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.