REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- International Organization for Migration (IOM) menggelar webinar bertajuk “Tren, Pola, dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)”. Webinar ini dilaksanakan secara daring pada Selasa (6/4) pukul 14.00 WIB.
Kegiatan ini digelar dalam rangka membahas maraknya praktik perdagangan orang di Indonesia yang kian lama semakin mengkhawatirkan. Webinar ini diisi sejumlah narasumber di antaranya, Judha Nugraha (Direktur PWNI & BHI Kementerian Luar Negeri), Hariyanto Suwarno (Ketua SBMI), Maizidah Salas (Penyintas, Ketua DPC SBMI Wonosobo, Puji Astuti (Divisi Pengembangan Usaha Aspataki, dan Eny Rofiatul Ngazizah (Project Assistant Counter Trafficking & Labour Migration, IOM di Indonesia).
“Dampak dari migrasi yang tidak berjalan aman dan teratur salah satunya adalah terjadinya kasus TPPO. Berdasarkan catatan IOM di Indonesia, selama tahun 2020, jumlah kasus TPPO yang diterima IOM meningkat menjadi 154 kasus dan menariknya adalah TPPO tidak hanya terjadi lintas negara, tetapi angka kasus TPPO di dalam negeri juga naik. Mayoritas korban eksploitasi yang diterima oleh IOM sepanjang tahun 2020 adalah eksploitasi seksual,” kata Eny Rofiatul dalam rilisnya, Rabu (7/4).
Eny juga mengatakan, IOM terus bekerja keras melaksanakan 3P yaitu pencegahan, penuntutan, dan pelindungan terhadap para korban TPPO. Webinar ini diadakan untuk memberikan fakta-fakta terkait kondisi perdagangan orang yang terjadi di Indonesia saat ini.
Tak sampai di situ, terdapat pembahasan menarik tentang risiko perdagangan orang, bagaimana meningkatkan kesadaran publik tentang masalah TPPO, serta membangun tindakan kolaboratif untuk mencegah TPPO bersama dengan instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta.
Faktanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat peningkatan kasus TPPO saat pandemi, dari 213 kasus (2019) menjadi 400 kasus (2020). Data yang dicatat oleh IOM di Indonesia juga menyoroti meningkatnya jumlah korban perdagangan anak pada tahun 2020, di mana 80 persen di antaranya dieksploitasi secara seksual.
Sementara itu, berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jumlah permohonan pelindungan saksi/korban TPPO yang diterima LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen di tahun 2020.
Lebih lanjut, KPPPA mencatat, untuk konteks Indonesia mayoritas kasus TPPO berkaitan dengan penempatan pekerja migran Indonesia, di mana beberapa sektor yang paling rentan terjadi perdagangan orang dan perbudakan manusia antara lain sektor perikanan, perkebunan kelapa sawit dan sektor domestik.
Dalam praktik perdagangan orang, siapa pun bisa menjadi pelaku kejahatan, bahkan keluarga sendiri. Hal ini tentu menyulitkan pihak yang ingin memberantas TPPO, karena keluarga memiliki andil yang besar dalam melindungi anggota keluarganya.
Tak hanya itu, banyak korban yang tidak ingin melapor dan, bahkan, tidak sadar bahwa mereka menjadi korban TPPO juga menjadi tantangan dalam penanggulangan perdagangan orang.
Eny juga mengatakan, TPPO merupakan suatu tindak kejahatan transnasional, oleh karenanya proses pembuktian dan unsur-unsurnya pun sangat kompleks. Sehingga akhirnya pengungkapan dan penuntutan terhadap pelaku perlu kerja sama dari semua pihak.
"Dalam hal pencegahan TPPO sendiri, perlu keterlibatan dari private sector, recruitment agency, para asosiasi, dan para private sector yang berperan menjadi pemberi kerja yang juga harus memastikan bahwa rantai pasok mereka terbebas dari risiko eksploitasi dan TPPO. Kerja sama ini harus dilibatkan lebih jauh lagi," kata Eny.