REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komite darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menentang gagasan tentang perlunya pelancong internasional memiliki bukti vaksinasi. Menurutnya, hal itu hanya akan memperdalam ketidakadilan.
“Jangan memerlukan bukti vaksinasi sebagai syarat masuk, mengingat bukti yang terbatas (meskipun terus bertambah) tentang kinerja vaksin dalam mengurangi penularan dan ketidakadilan yang terus menerus dalam distribusi vaksin global,” kata komite darurat WHO dalam sebuah pernyataan merangkum hasil rapat pada 15 April lalu dan dirilis pada Senin (19/4).
“Pihak negara sangat didorong mengakui potensi persyaratan bukti vaksinasi untuk memperdalam ketidakadilan dan mempromosikan kebebasan bergerak yang berbeda,” tulis komite darurat WHO.
Sejumlah negara sedang mempertimbangkan peluncuran paspor vaksin untuk pelancong. Paspor itu pun bakal digunakan untuk kegiatan lain, termasuk olahraga. Namun gagasan tersebut menuai kritik.
Banyak pihak menilai paspor vaksin akan mengarah pada diskriminasi antara tua dan muda serta kaya dan miskin. Beberapa kalangan lainnya mengemukakan masalah privasi.
Negara anggota Uni Eropa telah menyetujui sertifikat vaksin. Awal bulan ini, Amerika Serikat (AS) mengatakan ia tak memerlukan paspor vaksinasi. Namun Washington membebaskan sektor swasta untuk mengeksplorasi gagasan tersebut.
Sementara perihal ketidakadilan, WHO telah mengatakan negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,2 persen dari produksi vaksin dunia. Hal itu menunjukkan adanya ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan dalam hal distribusi.
“Lebih dari 700 juta dosis vaksin telah diberikan secara global, tapi lebih dari 87 persen telah diberikan ke negara-negara berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas. Sementara negara-negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,2 persen,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam webinar tentang Covid-19 pada 9 April lalu.