REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jaya Suprana, Budayawan, Penggagas Rekor MURI, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.
Paradoksa politik ketenagakerjaan nasional membuat saya bingung. Kebingungan saya pada dasarnya sederhana yaitu berdasar dua fakta absurd saling berlawanan makna dan arah satu dengan lainnya.
Di satu sisi adalah fakta bahwa akibat pagebluk Corona begitu banyak sesama warga Indonesia tidak memiliki atau semula memiliki namun kemudian tidak memiliki lapangan kerja akibat kehilangan lapangan kerja untuk mencari nafkah.
Bahkan Presiden Jokowi sudah menggagas Kartu Prakerja demi membina warga agar mampu mengembangkan kemampuan diri masing masing demi bisa bekerja di lapangan kerja sesuai kemampuan masing masing.
Menteri Tenaga Kerja juga sudah jungkir balik sampai babak belur berusaha menciptakan lapangan kerja.
Pendek kata saya sangat menghargai dan berterima kasih atas upaya pemerintah membuka lapangan kerja bagi seluruh warga Indonesia
PEKERJA ASING
Namun di sisi lain dengan alasan pembangunan infra struktur pemerintah mengeluarkan kebijakan yang didukung oleh Omnibus Law untuk mendatangkan sebanyak mungkin pekerja asing dari luar negeri untuk bekerja demi mencari nafkah di dalam negeri di Indonesia.
Kebijakan tersebut berlandarkan alasan alasan Indonesia tidak punya warga yang mampu mengerjakan pekerjaan warga asing yang sengaja didatangkan dari luar negeri.
Masalah makin membingungkan sebab mantan Deputi Menristek, DR Idwan Suhardi menegaskan bahwa pada hakikatnya warga bangsa Indonesia mampu mengerjakan apa pun yang mampu dikerjakan warga asing di persada Nusantara ini asal diberi kepercayaan dan kesempatan.
NAIF
Orang Amerika Serikat, Jerman, Prancis China, Jepang, India, Korea, adalah manusia seperti orang Indonesia.
Maka wajar jika mereka bisa maka pasti kita juga bisa. Mari kita tinggalkan inferiority complex yang sengaja ditanamkan oleh kaum penjajah di alam bawah sadar kita demi memudahkan mereka menjajah kita.
Bangsa yang percaya dan bangga terhadap bangsa sendiri memang lebih sulit untuk dikuasai oleh kaum penjajah.
Apabila kebingungan saya dianggap terlalu naif maka tidak perlu dipedulikan, silakan diabaikan saja sebagai embun di atas rumput bergoyang yang akan menguap dengan sendirinya.
Atau, dianggap saja layaknya gonggongan anjing yang tidak pengaruh bagi khafilah berlalu.
Saya sudah berterima kasih apabila naskah paradoksa ketenagakerjaan ini tidak didayagunakan sebagai alasan untuk melaporkan saya ke Bareskrim.
Sebab memang sebenarnya saya hanya bingung saja tanpa berani sedikit pun berniat mengritik pihak mana pun. Apalagi penguasa.