REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Cukup banyak ulama Indonesia yang menorehkan reputasi di tingkat internasional. Satu nama yang patut terus dikenang adalah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (wafat 1916). Ada dua pendapat tahun kelahirannya. Menurut Buya Hamka, sosok tersebut lahir pada 1860, sedangkan berdasarkan riset Deliar Noer ialah 1855.
Tokoh kelahiran Nagari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat, ini digelari sebagai ulama perintis ilmu. Sebab, sejumlah muridnya belakangan menjadi pelopor kemajuan Islam di Indonesia. Yang dikenal luas adalah KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari.
Masing-masing mendirikan organisasi yang sampai hari ini terus berkiprah di Tanah Air, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sejumlah muridnya juga belakangan menjadi mufti di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Buku Cahaya dan Persatuan karya Dandang A Dahlan mengisahkan, nama Ahmad Khatib masyhur di kalangan warga Nusantara yang berhaji. Begitu pulang ke Tanah Air, mereka menyebut Ahmad Khatib sebagai pengajar di Masjidil Haram. Karena itu, mulai banyak orang Nusantara dari pelbagai daerah pergi ke Makkah untuk belajar kepadanya.
Sebaliknya, ada keuntungan pula bagi Ahmad Khatib terkait peningkatan minat orang-orang Nusantara belajar di Makkah. Khususnya mengenai yang sama-sama berasal dari Minangkabau. Dari mereka, Ahmad Khatib dapat mengetahui lebih lanjut perkembangan dakwah Islam di Sumatra Barat, kampung halamannya sendiri.
Takdir Allah meneguhkan Ahmad Khatib untuk terus mengabdikan ilmunya di al-Haram. Buya Hamka dalam risalahnya, “Ayahku, mengisahkan bagaimana Ahmad Khatib pada akhirnya didaulat menjadi imam besar Masjidil Haram pertama yang berkebangsaan non-Arab. Pada suatu Ramadhan, Syarif 'Awn ar-Rafiq menggelar acara buka puasa bersama yang mengundang para pembesar Makkah, termasuk mertua Ahmad Khatib, Syekh Saleh Al Kurdi.
Usai membatalkan puasa, semua orang hendak menunaikan sholat Maghrib berjamaah. Tuan rumah yang juga guru besar Masjidil Haram itu bertindak sebagai imamnya. Tanpa sengaja di tengah sholat Syarif 'Awn ar-Rafiq membacakan suatu ayat Alquran secara keliru. Ahmad Khatib yang ikut berjamaah di bela kangnya spontan membetulkan bacaan itu.
Usai sholat Maghrib, para hadirin merasa was-was lantaran tokoh sekaliber Syarif ar-Rafiq dikoreksi seorang Jawi yang baru beberapa waktu mengajar di al-Haram. Ternyata, sang imam mengakui kekeliruannya dan mengapresiasi koreksi dari Ahmad Khatib. Dia pun memuji kafasihan lidah Ahmad Khatib dalam melafalkan ayat Alquran.
Penghargaan Syarif 'Awn ar-Rafiq tidak sampai di sana. Beberapa hari setelahnya, atas usulan tokoh tersebut Ahmad Khatib didaulat menjadi imam dan kemudian khatib dari mazhab fiqih Syafii di Masjidil Haram. Sejak saat itu, kala usianya 38 tahun Ahmad Khatib berhak atas julukan syekh.