Selasa 04 May 2021 17:42 WIB

Dubes China Sebut Myanmar Bisa Hadapi Perang Saudara

Jika kekerasan pada warga sipil terus berlanjut Myanmar bisa hadapi perang saudara

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Suasana demonstrasi antijunta militer di Myanmar.
Foto: Anadolu Agency
Suasana demonstrasi antijunta militer di Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Duta Besar China untuk Amerika Serikat (AS) Zhang Jun menyoroti krisis yang tengah berlangsung di Myanmar. Dia menyebut jika aksi kekerasan terhadap warga sipil dan demonstran penentang kudeta terus berlanjut, negara tersebut dapat terjerumus ke dalam perang saudara.

“Kita harus benar-benar menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk membawa negara (Myanmar) kembali normal dan mencari solusi politik melalui dialog di antara partai politik terkait dalam kerangka konstitusional dan hukum,” kata Zhang pada Senin (3/5), dikutip laman South China Morning Post.

Baca Juga

Menurutnya, itulah mengapa China bekerja sangat erat dengan pihak-pihak terkait dan mendesak mereka untuk benar-benar menahan diri serta tidak mengambil tindakan ekstrem. Beijing meminta mereka menghindari kekerasan dan korban jiwa serta berupaya mencoba mencari solusi dengan dialog.

“Karena itu, Dewan (Keamanan PBB) sekarang juga memberikan dukungan penuh terhadap upaya diplomasi ASEAN,” ucap Zhang.

Pada Jumat (30/4) lalu, Dewan Keamanan PBB menyatakan mendukung seruan negara-negara ASEAN untuk menghentikan kekerasan di Myanmar dan memulai pembicaraan sebagai langkah pertama menuju solusi. Zhang sempat ditanya apakah China prihatin tentang kemungkinan Myanmar menghadapi perang sipil.

Sebab saat ini selain menghadapi kelompok demonstran, militer Myanmar harus turut menangani pemberontak etnis di negara bagian Kachin dan Karen. Zhang menyebut China memiliki masalah yang sama terkait kelompok ekstremis berbasis etnis. Namun dia yakin dengan upaya diplomatik, Myanmar dapat menghindari peningkatan ketegangan lebih lanjut.

Namun jika ketegangan meningkat, Zhang memperkirakan bakal ada lebih banyak konfrontasi. Dengan banyaknya konfrontasi, maka akan lebih banyak pula kekerasan serta korban. “Kemudian kita mungkin melangkah lebih jauh ke arah yang salah. Ini juga bisa berarti situasi kacau di Myanmar dan bahkan perang saudara,” ujarnya.

 

Sebab itu, dia mendesak adanya solusi diplomatik. Menurutnya eskalasi ketegangan dan kekerasan dapat memicu bencana atau krisis kemanusiaan di Myanmar. “Jadi kita perlu mencoba yang terbaik untuk menghindarinya,” ucapnya.

Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 700 orang dilaporkan telah tewas di tangan militer.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement