Rabu 05 May 2021 15:15 WIB

Alih Status KPK, Upaya Mendelegitimasi Kinerja Pegawai

Perubahan status KPK sebagai ASN hambat independensi penyidik.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Suasana Gedung KPK
Foto: Prayogi/Republika.
Suasana Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Direktur Pusham Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi, menilai, alih status pegawai KPK menjadi ASN seolah memberi ruang besar bagi pegawai KPK menjadi ASN atau PPPK. Namun, ia berpendapat, alih status ini hanya merupakan mekanisme untuk mendelegitimasi kinerja pegawai KPK yang terbukti berintegritas.

"Proses ujian wawasan kebangsaan yang akhir-akhir ini menyita perhatian publik menjadi tanda kekhawatiran tersebut sangat beralasan. Uji wawasan kebangsaan digunakan sebagai sarana untuk tidak meloloskan pegawai yang oleh publik dinilai memiliki integritas tinggi," kata Eko di Ruang Sidang Kampus UII, Rabu (5/5).

Baca Juga

UII turut mencatat Majelis Hakim MK telah tidak tepat mengutip Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN yang baru ditetapkan 27 Januari 2021. Juga, tidak relevan karena peraturan muncul sesudah perkara no. 70 selesai diperiksa, dibuktikan diserahkannya kesimpulan permohonan 1 Oktober 2020.

Peraturan KPK ini juga tidak pernah muncul sebagai alat bukti tulis oleh KPK tapi tiba-tiba muncul dalam putusan. Selain itu, Eko mengingatkan, ketika pegawai KPK diminta alih status jadi ASN, mereka jadi bawahan kementerian tertentu dan secara administratif akademik, kepangkatan, hierarki, akan berlaku bagi pegawai KPK.

"Dengan begitu, kami khawatir independensi penyidik jadi terganggu karena secara administratif mereka di bawah organisasi atau lembaga tertentu terkait Kementerian PAN dan RB. Kedua, eksistensi penyidik KPK selama ini menurut UU yang lama diakui, kami mendukung UU yang lama yang meletakan pegawai KPK yang independen," ujar Eko.

Ia menduga, uji wawasan kebangsaan jadi bagian skenario panjang untuk melemahkan KPK. Ketika itu terjadi, sebenarnya nasib perjuangan anti korupsi di Indonesia berada di posisi sangat sulit. Apalagi, negara harusnya menguji konteks kenegaraan dan bukan mendiskriminasi karena pandangan-pandangan agama atau politik personal.

Eko menekankan, sepanjang penilaiannya terkait profesionalitas, pengetahuan soal keindonesiaan, itu sah. Tapi, ketika pertanyaan diarahkan ke pandangan personal terkait forum internum, hal-hal bersifat personal keyakinan dirinya, patut diduga itu hanya jadi alat diskriminasi mereka atas orang-orang berintegritas di KPK.

"Wawasan kebangsaan harus didesain dalam konteks kebangsaan Indonesia, bukan dalam konteks keyakinan agama personal atau pilihan politik personal, karena itu bagian dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Maka, seluruh pertanyaannya harus didesain ulang, konteksnya kebangsaan, bukan pandangan personal," ujar Eko.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement