Jumat 07 May 2021 09:53 WIB

Sepeda dan Muhammadiyah dalam Lintasan Sejarah

Anak muda Muhammadiyah sudah mulai mengenal sepeda sejak era 1920-an.

Red: Ani Nursalikah
Sepeda dan Muhammadiyah dalam Lintasan Sejarah
Foto:

Kemungkinan yang dimaksud “Main Fit” di sini adalah kepandaian mengendarai sepeda. Dalam kosa kata Jawa, “pit” dikenal sebagai “sepeda”, dan berasal dari kata bahasa Belanda, “fiets”. Dalam konteks ini, kata “fiets” bertransformasi menjadi “fit” lalu “pit”.

Dari kisah di atas diketahui bahwa anak-anak muda Muhammadiyah sudah mulai mengenal sepeda sejak era 1920-an. Menaiki sepeda adalah simbol modernitas di zamannya.

Namun, tidak semua orang bisa bersepeda karena diperlukan teknik tertentu untuk menaiki, mengendarai, mengarahkan dan pada akhirnya mengerem sepeda. Maka, menampilkan kebolehan membawa sepeda merupakan sebuah hiburan yang mengasyikkan bagi kebanyakan masyarakat biasa di zaman itu.

Warga Muhammadiyah tidak hanya memanfaatkan sepeda sebagai sarana hiburan. Bila di masa sekarang para guru agama Muhammadiyah menjalankan tugasnya dengan sepeda motor dan mobil, maka di masa lalu sepeda adalah andalan mereka.

Pada tahun 1928, di antara warga Muhammadiyah Yogyakarta muncul istilah “tablegh dengan fiets” (berdakwah dengan sepeda). Kala itu, ada beberapa pilihan transportasi jarak menengah bagi penduduk Yogyakarta, yakni menyewa kendaraan atau naik spoor (kereta).

Tapi, demi hemat dan meringkas waktu perjalanan, para “guru-guru tablegh” Muhammadiyah memutuskan menggunakan sepeda. Mengingat arti penting sepeda untuk menjangkau berbagai penjuru kota ini, Muhammadiyah bagian Tabligh sampai membuat rapat khusus dengan para dermawan untuk menyelenggarakan apa yang dikenal sebagai “derma fiets”. Dana dari para dermawan itu kemudian dipakai untuk membeli lima buah sepeda.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement