Oleh : Tamsil Linrung, Anggota DPD RI
REPUBLIKA.CO.ID, Pesta demokrasi nasional 2024 masih jauh. Tapi kasak-kusuk politik telah memanas. Lembaga survey mulai bekerja, tim sukses bergerilya, dan para pengamat sibuk menganalisa alternatif pasangan calon. Belum apa-apa, salah satu partai besar dikabarkan menuju konflik internal gegara ambisi kadernya yang bersaing mewakili partai menuju 2024.
Riuh itu memang menggoda imajinasi politik publik. Tetapi juga menjauhkan mereka dari substansi. Diskursus tidak menyentuh esensi demokrasi kecuali berbicara fenomena permukaan. Tentang siapa berpasangan dengan siapa, atau siapa berhadapan dengan siapa.
Pemilu adalah pranata yang berfungsi memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi. Yaitu kedaulatan rakyat, legitimasi pemerintahan, dan sirkulasi kepemimpinan secara wajar.
Di tengah kasak-kusuk yang mengemuka, kita mempertanyakan prinsip pertama, di manakah daulat rakyat? Apakah kedaulatan itu sebatas memilih calon yang dimunculkan partai? Lalu bagaimana jika calon partai tidak dikehendaki rakyat kebanyakan?
Pun pada prinsip kedua, tentang legitimasi pemerintahan. Bila rakyat dipaksa harus memilih salah satu sajian kandidat partai yang tidak sepenuhnya mereka kehendaki, lantas bagaimana dengan prinsip legitimasi pemerintahan? Apa yang akan terjadi jika hasil Pemilu cukup absah secara prosedural hukum dan demokrasi, tetapi "tidak legitimate" di hati rakyat kebanyakan?.
Faktanya, survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 baru-baru ini menemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan sisanya hanya 28,51 persen yang menginginkan calon presiden dari kader partai.
Melalui survei ARSC, kita mencium bau penolakan rakyat kepada kader partai. Musababnya tentu macam-macam. Bisa jadi karena perilaku koruptif yang dipertontonkan kader partai tertentu, atau mungkin saja karena kejenuhan pada kandidat partai yang terasa basi karena diisi tokoh yang itu-itu saja.
Yang jelas, terpilihnya pemimpin yang absah secara prosedural hukum namun tidak melekat di hati rakyat sangat berpotensi memenjarakan bangsa ini dalam pertentangan panjang hingga mengurangi fokus pada pembangunan negeri. Barangkali, sebagian kita ada yang merasakan itu.
Menggugat Presidential Threshold
Hulu persoalan adalah Presidential Threshold alias ambang batas pencalonan presiden. Aturan itu mengebiri daulat rakyat. Membatasi calon-calon terbaik tampil di gelanggang.
UU No, 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan, untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres, Parpol atau gabungan Parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Bagi partai yang tidak menggenapi persentase ini, jalan konstitusional satu-satunya adalah berkoalisi membentuk gabungan parpol.
Konon, alasan penerapan aturan itu adalah untuk memperkuat partai politik. Juga agar presiden dan wakil presiden terpilih punya kekuatan politik terutama di parlemen, sehingga presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab parlemen yang kuat dikhawatirkan akan melemahkan sistem presidensial.
Sekilas masuk akal. Tapi bila dicermati, itu tak lebih akal-akalan politik semata. Konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi....