REPUBLIKA.CO.ID,NAYPYIDAW -- Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) bersiap untuk melakukan pembicaraan dengan Pemimpin Junta Myanmar Min Aung Hlaing. Pembicaraan dilakukan ketika kerusuhan di Myanmar telah memasuki bulan kelima sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari dan di tengah meningkatnya prospek sanksi baru dari Uni Eropa (UE).
Menteri Kedua Brunei untuk Urusan Luar Negeri Erywan Pehin Yusof, dan Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi tiba di ibu kota Naypyidaw pada Kamis (3/6) malam. Mereka dijadwalkam bertemu Min Aung Hlaing pada Jumat (4/6).
Namun tidak diketahui apakah mereka juga akan bertemu dengan anggota Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang sebagian besar diisi oleh anggota parlemen dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.
Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan pemilihan umum pada November lalu. Mereka digulingkan oleh militer yang menduga bahwa ada kecurangan dalam pemilu.
ASEAN telah memimpin upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis. Analis Myanmar David Mathieson meragukan upaya diplomasi ASEAN tersebut.
“Diplomasi ASEAN sudah mati. Barat kemungkinan akan memberikan dukungan untuk kunjungan ini, mengirimkan sinyal yang jelas kepada Naypyidaw bahwa kudeta mereka berhasil," kata Mathieson dilansir Aljazirah, Jumat (4/6).
NUG pada Kamis mengumumkan amandemen besar-besaran terhadap undang-undang kewarganegaraan negara Myanmar. Hal ini akan membuka jalan bagi pengakuan sebagian besar Muslim Rohingya sebagai warga negara. NUG mengatakan mereka akan bekerja untuk membangun serikat demokratis yang makmur dan federal, di mana semua kelompok etnis yang tergabung dapat hidup bersama dengan damai.
Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari negara itu pada 2017 setelah tindakan keras militer. Sebagian besar warga Rohingya saat ini berada di kamp pengungsian di Bangladesh.