REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Indira Rezkisari
Parlemen Israel atau Knesset menyingkirkan Benjamin Netanyahu dari kursi perdana menteri yang telah ia duduki selama 12 tahun. Parlemen menyetujui pemerintah baru yang dipimpin politikus sayap kanan, Naftali Bennett. Skenario yang tak dapat dibayangkan beberapa orang Israel sebelumnya.
Namun kemenangan koalisi partai dari sayap kiri, moderat, kanan dan Arab dalam pemungutan suara mosi percaya Ahad (13/6) kemarin sangat tipis yakni 60-59. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya koalisi tersebut.
Ribuan orang Israel namun menyambut baik hasil tersebut. "Saya di sini merayakan berakhirnya sebuah era di Israel, kami ingin mereka sukses dan bersatu lagi," kata salah seorang warga, Erez Biezuner, di Rabin Square, Senin (14/6).
Pemerintahan yang baru berencana menghindari langkah-langkah terkait isu luar negeri yang sensitif. Seperti kebijakan terhadap warga Palestina dan lebih fokus pada isu-isu reformasi domestik.
Warga Palestina tidak menanggapi pemerintahan baru Israel dengan senang. Mereka mengatakan sudah memprediksi Bennett mantan pejabat pertahanan yang menyarankan aneksasi sebagian dari pendudukan Tepi Barat, tetap mengejar agenda sayap kanan yang sama dengan Netanyahu, dilansir dari Reuters.
Netanyahu adalah politikus yang paling berpengaruh di generasinya tapi ia gagal membentuk pemerintahan usai pemilihan keempat dalam dua tahun terakhir yang digelar 23 Maret lalu. "Saya mencintai kalian, terima kasih," cicit Netanyahu pada masyarakat Israel di Twitter, Ahad (13/6).
Para pendukung koalisi pemerintahan yang baru mengibarkan bendera dan menari di belakangnya. Tapi Netanyahu mengatakan ia akan kembali ke panggung politik lebih cepat dibandingkan yang diperkirakan.
"Kami ditetapkan untuk menjadi oposisi, kami akan melakukannya dengan kepala tegak sampai kami digulingkan," kata politikus berusia 71 itu dalam pidatonya sebelum parlemen melantik Bennett.
Sebagian besar kelompok oposisi terhadap Netanyahu memiliki alasan personal. Tiga dari delapan partai di pemerintahan baru, dikepalai oleh mantan sekutu Netanyahu yang sebenarnya berbgai ideologi keras yang sama namun memiliki masalah personal dengan Netanyahu, seperti dilansir dari AP.
Bennet pun menghadapi tes berat menjaga koalisi secara politis dari sisi kanan, kiri, dan tengah. Koalisi tersebut termasuk sekelompok kecil faksi Islam yang mencetak sejarah sebagai partai Arab pertama yang masuk dalam koalisi. Mereka kemungkinan besar akan mengejar agenda agar terjadi ketegangan yang mereda dengan Palestina dan menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat tanpa meluncurkan agenda besar.
Masyarakat Arab di Israel mencapai 20 persen populasi. Mereka namun menderita akibat diskriminasi, kemiskinan, dan kekurangan kesempatan. Netanyahu seringkali menggambarka politikus Arab sebagai sosok yang bersimpati kepada teroris.
Bennet, seperti Netanyahu yang tidak mau mengakui Palestina sebagai negara, juga hanya sedikit menyinggung Palestina. Dia namun bersumpah sama dengan Netanyahu akan menentang upaya Amerika mengembalikan perjanjian nuklir dengan Iran.
"Israel tidak akan membiarkan Iran mempersenjatai dirinya dengan nuklir. Israel tidak setuju dengan perjanjian tersebut dan akan bertindak secara penuh," kata Bennett.
Presiden Israel Democracy Institute, lembaga think tank non-partisan, Yohanan Plesner, memperkirakan pemerintahan baru akan lebih stabil dari apa yang kelihatan. Katanya, setiap partai dalam koalisi akan menunjukkan mereka mampu bekerja. Karena itu Plesner mengatakan mereka butuh waktu dan pencapaian.
Namun, Plesner menyakini Netanyahu akan tetap membayang-bayangi pemerintahan baru Israel. Meski ia mengakui bahwa roda penggerak koalisi sebenarnya adalah Yair Lapid yang akan menjadi perdana menteri bergantian dengan Bennett dua tahun lagi.
Bennett adalah seorang jutawaan dengan pandangan politik yang keras dan menganut agama Yahudi Ortodoks. Ia mencicit fotonya sedang berdoa dengan tulisan dari Taurat. Ia akan menjabat sebagai perdana menteri selama dua tahun lalu digantikan Yair Lapid yang mengisi masa jabatan dua tahun berikutnya.
Mereka memimpin pemerintah yang berisi dari partai-partai berbagai spektrum politik termasuk untuk pertama kalinya partai yang mewakili 21 persen populasi minoritas Arab di Israel. Mereka berencana untuk menghindari gerakan pada isu-isu internasional sensitif seperti kebijakan terhadap masyarakat Palestina dan fokus pada reformasi domestik.
Dengan begitu sedikitnya kemajuan dalam upaya mengakhiri konflik dengan Israel yang sudah puluhan tahun, banyak rakyat Palestina yang tidak yakin pemerintahan Israel yang baru akan membuat perubahan. Mereka mengatakan tampaknya Bennett akan mengejar agenda sayap kanan yang sama dengan Netanyahu.
Agenda yang diikuti Bennett mungkin prioritas keamanan Israel yakin Iran. Juru bicaranya mengatakan ia akan 'menentang dengan gigih' setiap upaya Amerika Serikat (AS) bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tapi tetap akan bekerjasama dengan pemerintah Presiden Joe Biden.
Di tengah konflik antara Palestina dan Israel, Juru Bicara untuk Presiden Palestina Mahmoud Abbas menanggapi terpilihnya pemimpin baru Israel. Juru bicara mengatakan, apa yang terjadi di Israel adalah masalah internal negara tersebut. "Posisi kami selalu jelas, kami ingin Palestina diakui sebagai negara sesuai kondisi perbatasan di tahun 1967 dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya, seperti dikutip dari BBC.
Sedangkan Juru Bicara Hamas, Fawzi Barhoum, mengatakan apapun bentuk pemerintah Israel tidak akan mengubah cara pandang kelompok Hamas. Menurutnya apa yang dilakukan Israel adalah bentuk pendudukan bagi rakyat Palestina sekaligus bentuk penjajahan kolonial. "Kita akan melawannya untuk mengambalikan hak kita," katanya.
Bassem Al-Salhi, perwakilan Palestine Liberation Organization (PLO), mengatakan Bennett tidak kalah ekstremnya dari Netanyahu. Dia akan memastikan bisa mengekspresikan keekstremannya di pemerintahan.
Bagi rakyat Palestina, siapapun pemimpinnya perubahan belum tentu akan ada. "Tidak ada perbedaan dari satu pemimpin Israel ke pemimpin lainnya," kata pekerja pemerintah di Gaza, Ahmed Rezki (29 tahun), dikutip dari Arab News.
"Baik atau buruk mereka yang bisa lihat warganya sendiri. Tapi ketika berurusan dengan kami, mereka semuanya buruk dan mereka menolak memberikan hak rakyat Palestina."