REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memastikan rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan tidak akan memicu angka putus sekolah meningkat. Hal ini disebabkan pengenaan PPN hanya berlaku terhadap jasa pendidikan bersifat komersial.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan jasa pendidikan memiliki rentang luas termasuk soal biaya.
“Informasi beredar yang saya baca itu bahwa nanti ini bisa putus sekolah dan lainnya. Tentunya bukan seperti itu, ini adalah pendidikan yang dirasakan atau konsumsi atau dimiliki oleh masyarakat yang memiliki daya beli jauh berbeda,” ujarnya saat media briefing pajak, Senin (14/6).
Neil menjelaskan pengenaan PPN jasa pendidikan demi rasa keadilan. Jika objek pajak yang sama dikonsumsi oleh golongan penghasilan berbeda sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.
“Yang namanya jasa pendidikan rentangnya luas sekali. Jasa pendidikan yang kena PPN, yang mengutip iuran dalam jumlah batasan tertentu yang nanti harusnya dikenakan PPN," jelasnya.
Dijelaskannya juga akan ada pembeda barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat sesuai dengan ability to pay atau kemampuan beli atau konsumsinya. Hal ini tidak hanya berlaku PPN barang kebutuhan pokok, tapi juga pendidikan.
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, katanya, akan tetap mendapat bantuan yakni baik itu barang atau jasa akan dikenakan tarif jauh lebih rendah lagi. Namun terhadap barang dan jasa tertentu yang menargetkan masyarakat dengan kemampuan daya beli lebih tinggi akan dikenakan PPN.
Namun dia enggan merinci batasan biaya pendidikan yang akan dikenakan PPN. Hanya saja penetapan tarif ini akan dibedakan dalam dua bentuk yaitu jasa pendidikan komersial dan misi sosial.
"Supaya lebih jelas bahwa jasa pendidikan yang sifatnya komersial dalam batasan tertentu ini akan dikenakan PPN. Sementara jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan, kemudian dinikmati masyarakat banyak pada umumnya seperti SD negeri dan sebagainya tidak dikenakan PPN," ucapnya.
Berdasarkan rancangan RUU KUP, pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN.
“Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, g (jasa pendidikan) dihapus seperti pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus,” tulis rancangan RUU KUP.
Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Dengan demikian, hanya tersisa enam jenis jasa kategori bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa.
Pertama, jasa pelayanan medis. Nantinya, jasa dokter umum, dokter hewan, ahli kesehatan, bidan, hingga rumah sakit dan laboratorium kesehatan akan dihapus dari kategori bebas PPN. Kedua, jasa pelayanan sosial seperti panti asuhan, panti jompo, pemakaman, hingga jasa lembaga rehabilitasi.
Ketiga, jasa pengiriman surat dengan perangko, yakni yang selama ini dilakukan PT Pos Indonesia (Persero). Keempat, jasa keuangan, contohnya seperti jasa penyediaan tempat menyimpan barang dan surat berharga. Kelima, jasa asuransi.
Keenam, jasa pendidikan seperti pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Ketujuh, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi. Kedelapan, jasa angkutan umum di darat, air, dan udara dalam dan luar negeri.
Kesembilan, jasa tenaga kerja seperti jasa penyediaan asisten rumah tangga. Kesepuluh, jasa telepon umum yang menggunakan uang logam. Terakhir kesebelas adalah jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Pemerintah juga berencana untuk menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen."Tarif PPN sebesar 12 persen," tulis Pasal 7 ayat 1 draft RUU KUP.