REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas pembunuhan dalam perang narkoba di negaranya, Selasa (15/6).
"Kami tidak akan bekerja sama karena kami bukan lagi anggota," kata juru bicara Duterte, Harry Roque, merujuk keputusan presiden membatalkan keanggotaan Filipina dalam perjanjian pendirian ICC pada Maret 2018.
Roque mengatakan, Filipina tidak membutuhkan orang asing untuk menyelidiki pembunuhan dalam perang narkoba karena sistem hukum bekerja di Filipina. Dia meyakinkan, penluncuran penyelidikan tersebut telah salah secara hukum dan bermotif politik.
Seorang jaksa ICC meminta otorisasi untuk membuka penyelidikan penuh atas pembunuhan tersebut pada Senin (14/6). Jaksa meniliai kejahatan terhadap kemanusiaan bisa saja dilakukan dalam proses perang melawan narkoba di Filipina.
Menurut data pemerintah, sejak Duterte menjabat pada 2016 hingga akhir April tahun ini, polisi telah membunuh lebih dari 6.100 tersangka pengedar narkoba dalam operasi penangkapan. Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan, polisi dengan cepat mengeksekusi tersangka, tetapi pihak berwenang mengatakan mereka dibunuh setelah melawan dengan keras saat ditangkap.
Kelompok HAM dan kritikus pembunuhan narkoba pun telah menyambut baik langkah ICC. Mereka mengatakan penyelidikan skala penuh akan membawa keadilan lebih dekat bagi ribuan orang yang tewas dalam perang berdarah Duterte terhadap narkoba.