Rabu 30 Jun 2021 13:43 WIB

Ahli: Kasus akan Terus Naik Jika Mobilitas tak Dibatasi

Selama ini belum ada pembatasan mobilitas masyarakat secara tegas.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Mas Alamil Huda
Petugas menghentikan pengendara yang masih melintas saat pembatasan mobilitas di Jalan Komjen M Yasin, Depok, Jawa Barat, Selasa (29/6/2021). Polda Metro Jaya menambah lokasi pembatasan mobilitas selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro menjadi 21 lokasi yang meliputi Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Petugas menghentikan pengendara yang masih melintas saat pembatasan mobilitas di Jalan Komjen M Yasin, Depok, Jawa Barat, Selasa (29/6/2021). Polda Metro Jaya menambah lokasi pembatasan mobilitas selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro menjadi 21 lokasi yang meliputi Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus harian Covid-19 di Tanah Air berada pada kisaran 20 ribu dalam beberapa hari terakhir. Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Laura Navika Yamani, khawatir kalau pemerintah tidak serius membatasi mobilitas masyarakat. 

 

"Mobilitas harus dibatasi dan pembatasan ini bukan hanya sekadar imbauan. Sebab, selama ini belum ada pembatasan mobilitas secara tegas," kata Laura saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (30/6).

Ia mencontohkan, pemerintah pernah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat awal-awal pandemi tahun lalu. Saat itu, dia melanjutkan, pemerintah benar-benar tegas bahwa tidak boleh ada mobilitas. Akhirnya, dia menambahkan, PSBB bisa menurunkan kasus.

Efek lainnya, dia melanjutkan, semakin berkurang orang yang terpapar dan membutuhkan penanganan. "Tetapi, sekarang hanya imbauan. Padahal, fasilitas kesehatan sudah overload," ujarnya.

Memang, kata Laura, tempat pelayanan kesehatan masih berupaya melakukan perluasan konversi dan menambah tempat tidur. Namun, ia mempertanyakan harus berapa banyak tempat tidur yang dipersiapkan kalau di hulunya, yaitu masyarakat, tidak dibatasi mobilitasnya. Otomatis, hilirnya atau rumah sakit akan kewalahan menerima pasien.  

"Mungkin ruangan bisa disiapkan, tetapi bagaimana dengan tenaga kesehatan (nakes), alat-alat kesehatan seperti ICU, apakah bisa? Tidak semudah itu," ujarnya.

Tak heran, dia melanjutkan, para nakes sudah mengeluhkan masalah ini. Sebab, ia menilai fasilitas kesehatan (faskes) yang menangani Covid-19 sekarang sudah hampir kolaps. Jika kondisi ini terus terjadi dan pasien tidak mendapatkan penanganan di rumah sakit (RS) dengan cepat, otomatis kondisinya akan semakin drop.

Laura juga mengaku mendapatkan informasi bahwa kini sudah ada pasien Covid-19 meninggal dunia di rumah karena tidak mendapatkan pertolongan dan meninggal dunia sebelum ditangani. Padahal, dia melanjutkan, awalnya kondisinya masih bisa ditolong.

Namun, karena rumah sakit yang penuh, membuat orang yang terinfeksi tidak ditangani dan meninggal dunia di rumah. Artinya, kata Laura, yang dirugikan adalah masyarakat karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal sehingga kondisi ini bisa berujung pada kematian. 

"Selain itu, tenaga kesehatan sebagai garda terdepan ketika menghadapi banyaknya pasien yang masuk kemudian siapa yang menjamin mereka (tak tertular virus)," katanya.

Laura meminta pemerintah harus benar-benar harus serius dalam menangani pandemi. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa mengimbangi antara penanganan kesehatan di faskes dan vaksin. "Sebab, kesehatan lebih penting dibandingkan ekonomi," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement