Kamis 15 Jul 2021 19:38 WIB

AS akan Evakuasi Penerjemah Afghanistan

Washington khawatir penerjemah yang membantu AS di Afghanistan jadi sasaran Taliban.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara AS di Afghanistan
Foto: Reuters
Tentara AS di Afghanistan

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) bersiap mengevakuasi penerjemah Afghanistan yang membantu pasukan AS selama perang dua puluh tahun. Gedung Putih mengatakan operasi yang dinamakan Operation Allies Refuge ini dimulai pekan lalu.

Operasi tersebut digelar menjelang mundurnya pasukan AS dari Afghanistan pada 11 September mendatang seperti yang telah ditetapkan Presiden Joe Biden. Beberapa pekan terakhir Taliban telah merebut banyak wilayah yang dikuasai pemerintah Afghanistan.

Baca Juga

"Ini individu-individu yang berani, kami ingin memastikan kami mengakui dan menghargai peran yang mereka mainkan selama beberapa tahun," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki, seperti dikutip BBC, Kamis (15/7).

Seorang pejabat yang tidak disebutkan namanya mengatakan evakuasi ini melibatkan 2.500 orang yang tampaknya akan ditempatkan di fasilitas militer. Baik di wilayah AS maupun di negara ketiga sementara aplikasi visa mereka masih diproses.

Pemerintah AS menawarkan program Visa Imigran Khusus ditawarkan bagi yang bekerja untuk pemerintah atau pasukan militer AS selama perang di Afghanistan sejak 2001. Sebab dikhawatirkan mereka akan menjadi korban serangan balasan Taliban.

Kelompok pemberontak itu telah merebut sejumlah pos perbatasan yang berseberangan dengan Iran, Tajikistan dan Turkmenistan. Pada Rabu (14/7) kemarin milisi Taliban juga dilaporkan telah mengibarkan bendera mereka di Spin Boldak perbatasan dekat Kandahar.

Banyak pihak yang khawatir pasukan Afghanistan akan ambruk sepenuhnya. Mantan Presiden AS George W Bush yang memutuskan mengirim pasukan AS ke Afghanistan memperingatkan konsekuensinya 'yang sangat buruk' bila pasukan AS ditarik dari negara itu.

Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi Jerman, Deutsche Welle pekan ini Bush mengatakan ia yakin rakyat Afghanistan ditinggalkan 'untuk dibantai'. Taliban yang berkuasa sejak pertengahan 1990-an hingga digulingkan AS pada 2001 dituduh melanggar berbagai hak asasi manusia.

Kelompok ini menerapkan hukum Islam yang berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Seperti melarang televisi, musik dan drama dan melarang anak perempuan di atas 10 tahun ke sekolah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement