REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Komite hak anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan puluhan anak telah terbunuh dan ratusan anak lainnya ditahan secara sewenang-wenang di Myanmar sejak kudeta lebih dari lima bulan lalu, Jumat (17/7). Gejolak politik di negara itu pun terus berlanjut di tengah darurat kesehatan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Lembaga itu telah menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa 75 anak telah terbunuh dan sekitar 1.000 ditangkap di Myanmar sejak 1 Februari. "Anak-anak di Myanmar dikepung dan menghadapi korban jiwa akibat kudeta militer,” kata ketua komite Mikiko Otani dalam sebuah pernyataan.
Penduduk Myanmar telah mengambil bagian dalam protes massal tetapi telah mendapat tanggapan militer yang brutal sejak kudeta yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. "Anak-anak terpapar kekerasan tanpa pandang bulu, penembakan acak, dan penangkapan sewenang-wenang setiap hari,” kata Otani.
"Mereka menodongkan senjata ke arah mereka dan melihat hal yang sama terjadi pada orang tua dan saudara mereka," ujar Otani.
Komite hak anak PBB ini terdiri dari 18 ahli independen yang bertugas memantau pelaksanaan Konvensi Hak Anak, yang ditandatangani Myanmar pada 1991. Para ahli mengatakan mereka sangat mengutuk pembunuhan anak-anak oleh junta dan polisi.
Sikap tersebut menunjukkan bahwa beberapa korban dibunuh di rumah mereka sendiri. Korban kekerasan militer Myanmar termasuk seorang gadis enam tahun di kota Mandalay, ditembak di perut oleh polisi.
Para ahli juga mengecam penahanan sewenang-wenang yang meluas terhadap anak-anak di kantor polisi, penjara, dan pusat penahanan militer. Mereka menunjuk otoritas militer yang melaporkan praktik menyandera anak-anak ketika tidak dapat menangkap orang tua mereka, termasuk seorang gadis berusia lima tahun di wilayah Mandalay yang ayahnya membantu mengorganisir protes anti-militer.
Dikutip dari Aljazirah, komite juga menyuarakan keprihatinan mendalam tentang gangguan yang cukup besar dalam perawatan medis penting dan pendidikan sekolah di seluruh negeri. Akses ke air minum dan makanan yang aman untuk anak-anak di daerah perdesaan juga telah terganggu.
Mereka menunjukkan bahwa kantor hak asasi PBB telah menerima laporan yang kredibel bahwa pasukan keamanan menduduki rumah sakit, sekolah, dan lembaga keagamaan di negara itu, yang kemudian dirusak dalam aksi militer. Mereka menyoroti angka-angka dari badan anak-anak PBB UNICEF yang menunjukkan bahwa satu juta anak di seluruh Myanmar kehilangan vaksin utama, sementara lebih dari 40.000 anak tidak lagi menerima perawatan yang mereka butuhkan untuk kekurangan gizi akut yang parah.
"Jika krisis ini berlanjut, seluruh generasi anak-anak berisiko menderita konsekuensi fisik, psikologis, emosional, pendidikan dan ekonomi yang mendalam, membuat mereka kehilangan masa depan yang sehat dan produktif," kata Otani memperingatkan.