REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional menurunkan proyeksi ekonomi Indonesia jadi 3,9 persen pada tahun ini atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 4,3 persen. Selanjutnya Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sebesar 4,1 persen atau turun dari perkiraan sebelumnya 4,5 persen.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira pemangkasan proyeksi ekonomi dari IMF sejalan dengan proyeksi ke bawah yang dilakukan lembaga lain. “Saya prediksi downgrade outlook ini akan berlanjut sampai ada titik terang kapan PPKM akan berakhir dan ekonomi kembali dilonggarkan,” ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (28/7).
Bhima menyebut proyeksi ke bawah IMF maka tingkat risiko pun meningkat dan akan memengaruhi outlook investor terhadap keputusan berinvestasi di Indonesia. Menurutnya Nikkei recovery index menempatkan Indonesia urutan ke 110 dari 120 negara dalam hal pemulihan karena adanya pandemi.
“Mungkin butuh waktu sampai 2023 hingga pertumbuhan ekonomi kembali ke level pra pandemi yakni lima persen. Kita harus bersiap hadapi yang terburuk yakni pemulihan ekonomi Indonesia lebih lambat dibanding negara peers,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menambahkan proyeksi tersebut mendorong adanya second wave yang memaksa PPKM darurat memiliki dampak negatif terhadap ekonomi.
“Konsumsi jelas akan menurun,” ucapnya.
CORE merilis proyeksi ekonomi Indonesia kisaran 2,5 persen sampai 3,5 persen pada tahun ini. Hal ini dinilai sudah sangat optimis karena pihaknya memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal dua, tiga, dan empat masih akan positif walaupun dihantam second wave.
“Tetapi secara full year tida akan lebih dari 3,5 persen,” ucapnya.
Menurutnya pemulihan ekonomi akan dibantu kinerja ekspor yang meningkat karena kenaikan demand dan kenaikan harga. Dari sisi lain pertumbuhan impor masih terbatas. “Investasi masih tumbuh terutama pada sektor-sektor tertentu yang masih bisa berjalan baik di tengah pandemi,” ucapnya.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menilai saat ini jika melihat coverage vaksinasi terhadap total populasi, per hari ini di Indonesia baru mencapai 12 persen. Jika melihat dari laporan pemberitaan juga beberapa daerah, stok vaksinasi juga mulai berkurang.
“Stok tersisa vaksin juga diakui tinggal 22 juta dosis. Kombinasi varian delta+ rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokoler kesehatan+ proses vaksinasi yang kemudian mendorong kenaikan kasus akhirnya mendorong pemerintah membatasi kegiatan aktifitas masyarakat,” ucapnya.
Menurutnya pola pergerakan masyarakat, dalam periode kenaikan kasus dan kebijakan restriksi aktifitas masyarakat, dalam periode itu pula, pola pergerakan masyarakat ke tempat ritel juga mengalami perlambatan. Penurunan aktivitas masyarakat ke tempat ritel secara tidak langsung akan ikut menekan laju konsumsi masyarakat.
“Belajar dari pemberlakuan pembatasan sebelumnya, indeks penjual riil, salah satu indiaktor yang bisa dilihat untuk mengukur kinerja ritel, mengalami kontraksi pertumbuhan selama masa restriksi aktivitas masyarakat,” ucapnya.
Yusuf menyebut kondisi ini juga berpeluang akan kembali terjadi dalam penerapan PPKM darurat. Jika konsumsi ritel berkurang tentu ini pada akhirnya akan menekan konsusmsi masyarakat dan pada muaranya akan menekan laju pertumbuhan ekonomi.