Jumat 30 Jul 2021 00:30 WIB

ICW: Tuntutan Juliari Ganjil

Ringannya tuntutan menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Jaksa meyakini, Juliari menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

Selain pidana badan Jaksa juga menuntut hakim agar Juliari dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun 1 bulan setelah putusan pengadilan maka harta bendanya akan disita, dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama 2 tahun. Jaksa juga menuntut agar hak politik Juliari dicabut selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. 

Menanggapi tuntutan Juliari, Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang tuntutan terhadap Juliari sangatlah ganjil. Ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. 

"Tuntutan KPK ini, terkesan ganjil dan mencurigakan. Sebab, pasal yang menjadi alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar," ujar peneliti ICW Almas Sjafrina dalam keterangannya, Kamis (29/7). 

Tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliar juga jauh dari memuaskan, karena besaran tersebut kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari P. Batubara. Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. 

"Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19," ucap Almas. 

Almas mengingatkan, penegak hukum merupakan representasi negara dan korban yang bertugas meminta pertanggungjawaban atas kejahatan pelaku. Hal ini pun telah ditegaskan dalam Pasal 5 huruf d UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK. 

"Regulasi itu menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK mengedepankan asas kepentingan umum," ucapnya.

Alih-alih dijalankan, KPK justru lebih terlihat seperti perwakilan pelaku yang sedang berupaya semaksimal mungkin agar terdakwa dijatuhi hukuman rendah. Padahal, perkara ini menguak peran Juliari yang didakwa telah menerima suap Rp 32,4 miliar. 

Juliari pun disebut telah menarik fee dari 109 penyedia bansos melalui Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini. Perbuatan korupsi yang diduga terjadi dalam distribusi bansos Covid-19 ini, diduga kuat tidak hanya terkait dengan suap-menyuap, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara. 

"Potensi tersebut dapat muncul dari besaran keuntungan yang tidak wajar yang diambil oleh para penyedia, yang minim pengalaman atau bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali, sebagai produsen utama program bansos," tutur Almas. 

Sebagaimana diketahui, Juliari diduga kuat turut mengoordinasikan atau membagi-bagi pengadaan agar dilakukan oleh penyedia tertentu, yang proses penunjukannya mengabaikan ketentuan pengadaan darurat. Para penyedia minim pengalaman tersebut, kemungkinan dipilih karena ada kedekatan atau afiliasi politik tertentu.

"Uraian perbuatan di atas, menggambarkan kesengajaan para terdakwa dalam menghambat upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga dalam rangka menangani dampak pandemi Covid-19, kondisi yang semestinya menjadi dasar pemberat bagi penuntut umum, dalam menyusun dan membaca surat tuntutan kepada Juliari," tegas Almas.

Namun, JPU KPK gagal mewakili kepentingan negara dan korban. Melihat rendahnya tuntutan JPU terhadap Juliari, sambung Almas, hakim harus mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal yaitu, pidana penjara seumur hidup kepada mantan Menteri Sosial tersebut. 

Penjatuhan hukuman yang maksimal terhadap Juliari Batubara, sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya dilanggar di tengah pandemi Covid-19, akibat praktik korupsi ini. 

"Ke depannya, vonis maksimal tersebut diharapkan berdaya cegah terhadap potensi terjadinya kasus serupa, terutama di tengah kondisi pandemi," kata Almas. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement