Jumat 30 Jul 2021 08:58 WIB

Penyitaan Aset Diharap tak Abaikan Keadilan

Penyitaan aset dilakukan setelah ada kekuatan hukum tetap.

Hukum dan Keadilan (ilustrasi)
Foto: RESPONSIBLECHOICE
Hukum dan Keadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyitaan hingga perampasan aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi dinilai berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, kebijakan formulatif perampasan aset hasil tindak pidana korupsi saat ini terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Undang-undang 20 Tahun 2001.

Menurut dia, kebijakan perampasan aset, terutama dalam rangka memenuhi uang pengganti, melalui mekanisme hukum pidana hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Baca Juga

"Sehingga apabila putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, maka pidana tambahan berupa perampasan aset maupun uang pengganti tidak dapat dieksekusi," kata Suparji,  Kamis (29/7).

Jika dikaitkan dengan HAM, Suparji menyebut bahwa perampasan tersebut dapat menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah.

"Hak atas kepemilikan aset oleh warga negara harus dilindungi dan dihormati oleh negara, sehingga terdakwa perlu menjelaskan dimuka persidangan bahwa aset tersebut didapat secara sah, dan mengajukan keberatan di pengadilan sesuai Pasal 79 ayat 5 UU TPPU," kata dia.

Berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Dalam putusannya hakim harus melihat bahwa barang sitaan harus memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 39 ayat 1 KUHAP juncto Pasal 18 UU Tipikor. Sementara dalam konteks Undang-Undang No. 8 Tahun 2020 tentang TPPU menyebut pihak ketiga yang beriktikad baik didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kejahatan pidananya, tidak menyadari keberadaannya digunakan atau dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, dan tidak memiliki hubungan dan tidak dalam kekuasaan ataupun perintah pelaku TPPU.

Seperti diketahui, saat ini ada lebih 102 gugatan keberatan yang masuk ke PN Tipikor Jakarta terkait perampasan aset yang melibatkan ribuan pihak dalam proses penegakan hukum atas kasus korupsi dan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. Termasuk di antaranya keberatan dari 26 ribu lebih nasabah pemegang polis asuransi WanaArtha yang subrekening efeknya turut disita.

Gugatan juga muncul dari sejumlah investor dan perusahaan yang melakukan investasi di bursa efek, pascaputusan pengadilan Tipikor yang  memutuskan untuk merampas aset berupa saham, rekening efek yang diduga ada kaitannya dengan aliran dana dari para terpidana kasus korupsi tersebut.

Sementara Analis Senior CSA Research Institute, Reza Priyambada mengkritisi penanganan atau cara aparat hukum dalam menangani atau menyelesaikan proses hukum di pasar modal.

Menurutnya, hal itu sudah menjadi kesalahan dalam menganalisis proses hukum yang terjadi. Reza menambahkan terkait dengan penanganan hukum memang harus melihat banyak aspek, tidak bisa dilihat dari satu atau dua aspek. Karena yang namanya investasi itu dinamis, jadi setiap saat pun bisa berubah.

Sementara menurut penelitian hukum normatif yang dilakukan Pakar Hukum Pidana Patra M Zen, hukum pidana di Indonesia sangat terbatas mengatur perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik (bona fide third parties) dalam kaitannya dengan hak atas harta kekayaan. Akibatnya, terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Hal tersebut disampaikan Patra dalam bukunya berjudul 'Perlindungan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik: Atas Harta Kekayaan Dalam Perkara Pidana'. Dalam bukunya ia juga menyebut jika penyitaan terhadap aset-aset dalam suatu perkara, seringkali dilakukan tanpa proses verifikasi dan hanya berdasarkan keterangan saksi. 

Di sisi lain, lanjut dia, putusan untuk merampas aset, apakah itu merupakan barang bukti ataupun aset yang diduga terkait tindak pidana, harus dibuktikan melalui pemeriksaan dan verifikasi. Apalagi saat ini marak kasus keberatan pihak ketiga ke PN Tipikor atas putusan perampasan aset pihak ketiga.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement