REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb. Apakah termasuk suap jika pertugas medis menerima pemberian uang atau kue dari pasien yang sedang dirawat di luar biaya rumah sakit?
Fatimah, Depok
Jawaban atas pertanyaan di atas disampaikan Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Ustadz Dr Oni Sahroni sebagai berikut:
Waalaikumussalam wr wb. Tip untuk tenaga medis itu boleh diberikan selama tidak diperjanjikan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal/ilegal dan tidak bertentangan dengan aturan internal lembaga. Bagi petugas medis tetap profesional melakukan tugasnya melayani semua pasien (baik yang memberi tip dan tidak). Penjelasan secara runut bisa digambarkan dalam poinpoin berikut ini.
Pertama, misalnya, ada orang tua yang selesai mendampingi anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Sebelum check out, ia memberikan hadiah kepada setiap perawat Rp 50 ribu. Ada juga seorang suami menjemput istrinya yang dirawat karena Covid-19 di rumah sakit, kemudian memberikan uang tip Rp 100 ribu kepada petugas medis yang merawat istrinya.
Kedua, suatu hadiah dikategorikan suap apabila (a) diberikan kepada petugas medis untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau hak orang lain. (b) Diperjanjikan bahwa pemberi akan mendapatkan fasilitas yang tidak halal/ilegal jika ia memberikan uang tip (hadiah) tersebut. (c) Tidak ada aturan di rumah sakit tersebut yang melarang petugas medis menerima tip.
Ketiga, berdasarkan penjelasan tersebut, apabila seseorang memberikan tip kepada petugas medis tanpa dipersyaratkan dan tidak untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, diperbolehkan dan bagian dari husnul adab.
Dengan ketentuan, petugas medis dengan hadiah tersebut tetap melakukan tugasnya sebagai seorang profesional tanpa mengurangi pelayanan kepada mereka yang tidak memberikan hadiah dan selama tip ini tidak membuat tradisi yang tidak baik. Seperti misalnya, mengharuskan pasien lain memberikan hadiah kepada petugas medis yang melayaninya.
Keempat, sebagaimana didasarkan pada penjelasan Syekh 'Athiyah Saqr, "Tetapi, itu (suap yang dilarang) berlaku saat ada kesepakatan antara pemberi suap dan penerima sebelumnya. Namun, jika tidak ada kesepakatan atau syarat atau kelaziman di antara mereka dan hadiah diberikan setelah tugas yang legal tersebut ditunaikan, maka hadiah tersebut boleh diberikan dan boleh diterima."
Kelima, tip tersebut bukan termasuk bagian dari ghulul seperti hadits berikut ini. Dari Abu Humaid As Sa'idi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul." (HR Ahmad).
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, "Adapun hadits Abu Humaid, maka di sana Nabi SAW mengingatkan Ibnu Lutbiyyah yang menerima hadiah yang diberikan kepadanya. Padahal, hadiah tersebut sangat terkait dengan keberadaannya sebagai seorang amil/pekerja saja." (Fathul Bari, 5/221).
Sebagaimana hadits, "...Rasulullah SAW memperkerjakan... Ibnu Luthbiyah Amru dan Ibnu Abu 'Umar berkata- untuk mengumpulkan zakat. Ketika menyetorkan zakat yang dipungutnya, dia berkata, "Zakat ini kuserahkan kepada Anda dan ini pemberian orang kepadaku." Abu Humaid berkata, "Rasulullah SAW lalu berpidato, ...Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ibu bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya?..." (HR Muslim).
Penulis memahami hadits hadaya al-'ummal ghulul itu menjadi landasan bagi yang berpendapat bahwa hadiah itu tidak diperbolehkan walaupun tidak bersyarat. Namun, dalam praktiknya, mengambil pendapat ini menyebabkan banyak kesulitan dalam realitasnya.
Tidak sedikit yang ingin memberikan hadiah tanpa tersandung kriteria suap di atas. Dalil hadaya al-'ummal ghulul itu lebih tepat digunakan dalam konteks hadiah yang dilarang dalam peraturan perundangundangan, seperti gratifikasi sebagai langkah prudentiality (ihtiyath) dan saddu adz-dzari'ah