REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 100 tokoh lintas organisasi menyepakati pernyataan bersama untuk mengenang kematian pejuang hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib yang genap berusia 17 tahun pada Selasa, (7/9). Salah satu isi kesepakatannya ialah menyinggung motif politik elektoral di balik pembunuhan Munir.
Mewakili para tokoh, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usmad Hami, menilai kasus kematian Munir tergolong pembunuhan politik. Kuat dugaan, kasus ini berhubungan dengan situasi demokrasi saat peristiwa pembunuhan terjadi, yakni putaran akhir pemilihan langsung presiden yang berlangsung kurang dari dua pekan sesudahnya, yaitu 20 September 2004.
"Partisipasi Munir dalam pemilihan presiden putaran pertama pada Juli 2004 bisa menjadi faktor penting dalam mengungkap motif dan faktor yang memicu peristiwa, termasuk efek yang diinginkan aktor intelektual pembunuh Munir dalam arena politik demokrasi elektoral ketika itu," tulis keterangan pers bersama 100 tokoh yang diterima Republika.co.id, Senin (6/7).
Usman menganalisa logika pembunuhan politik berbeda dengan kekerasan politik biasa. Karakteristik sang korban di sebuah pembunuhan politik sangat mungkin menjadi tujuan dari pembunuhan.
Usman mencontohkan dalam berbagai pengalaman negara lain, pembunuhan politik kerap menimpa orang-orang yang dinilai berseberangan dengan pemerintah. Munir selama ini kritis pada institusi keamanan seperti militer dan intelijen.
"Munir juga vokal menyuarakan pertanggung jawaban negara untuk mengadili elite-elite tertentu yang berlatar belakang militer, atas sebuah pelanggaran HAM," ujar Usman.
Selain itu, Usman menyatakan, kasus Munir harus dapat dijadikan peringatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ia menyebut betapa kotornya perpolitikan Indonesia saat berlangsung persaingan dalam pemilihan langsung presiden yang pertama dalam perjalanan sejarah Indonesia di 2004.
"Kedua, betapa minimnya jaminan keamanan maupun perlindungan hukum bagi pejuang demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan sosial," kata Usman.
Oleh karena itu, para tokoh mendesak Presiden Joko Widodo untuk berani mengusut aktor intelektual di balik kasus Munir. "Pengungkapan kasus Munir juga akan menegaskan dihentikannya praktek-praktek kuno dan tidak beradab berwujud penggunaan kekerasan dalam politik di Indonesia," tutur Usman.
Diketahui, Munir tewas diracun dalam penerbangannya dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Kematian Munir menyeret pilot Garuda, Pollycarpus.
Pollycarpus dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir. Ia sempat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, setelah memohon peninjauan kembali, hukumannya menjadi 14 tahun penjara.
Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.