REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menolak laporan EO dan RT terduga pelaku perundungan dan pelecehan seksual terhadap pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS. Alasannya, kasus yang sempat viral di media sosial masih dalam proses hukum oleh Polres Metro Jakarta Pusat.
"Jadi misalnya saya dituduh mencuri ini lagi diproses polisi tapi tiba-tiba saya tidak terima saya laporkan pencemaran nama baik. Boleh tidak? Kan ini belum selesai masalah yang satu," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Yusri Yunus, memberikan alasan penolakan laporan tersebut, Sabtu (11/9).
Lanjut Yusri, berbeda jika dalam penyelidikannya nanti, kedua terduga EO dan RT tidak terbukti atau terlibat dalam aksi perundungan dan pelecehan seksual yang telah lebih dulu dilaporkan. Maka dengan demikian, EO dan RT atau terduga pelaku lainnya bisa melaporkan MS atas dugaan pencemaran nama baik.
"Ini masih penyelidikan dan penyidikan. Masa langsung dilaporkan lagi pencemaran nama baik," jelas Yusri kepada awal media.
Sementara itu Kuasa Hukum MS, Rony E Hutahaean juga menegaskan pihaknya memastikan tidak akan menerima tawaran perdamaian dari para terduga pelaku perundungan dan pelecehan seksual tersebut. Sebab, tawaran perdamaian itu memuat syarat yang dianggap justru merugikan kliennya.
"Saya sebagai kuasa hukum dari MS menyampaikan kami tetap pada proses hukum yang ada. Kami tetap berusaha menegaskan apa yang disampaikan klien kami sesuai dengan fakta dan kronologis yang terjadi," kata Rony, Jumat (10/9) kemarin.
Dalam perkara ini penyidik Polres Metro Jakarta Pusat sudah mengambil keterangan awal dari korban MSA sebagai pelapor dan dijadikan sebagai laporan polisi. Selanjutnya dibawa ke penyelidikan, nantinya akan dilakukan klarifikasi termasuk lima orang terlapor yang diduga sebagai pelecehan terhadap pria berinisial MSA tersebut.
Sebelumnya, pengakuan MSA terkait perundungan yang dialaminya tersebar di media sosial. Dalam rilis tersebut MSA mengaku ditindas, dan dilecehkan oleh tujuh orang rekan kerjanya. Perundungan itu diterima korban sejak 2012 sampai 2019. Bahkan pada tahun 2015, MSA ditelanjangi, dipiting, dan alat vitalnya dicoret-coret menggunakan spidol.
"Mereka bersama-sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh," kata MSA dalam keterangan tertulis, Rabu (1/9).
Dalam rilisnya, MSA juga mengaku aksi pelecehan yang terjadi berulang itu membuatnya trauma dan kehilangan kestabilan emosi dan sampai mengubah pola mental, stres dan merasa hina. Akibatnya, iasering jatuh sakit dan mengalami hipersekresi cairan Lambung akibat trauma dan stres.
"Dengan rilis pers ini, saya berharap Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia mau membaca apa yang saya alami. Saya tidak kuat bekerja di KPI Pusat jika kondisinya begini," tulisnya.