Kamis 16 Sep 2021 17:00 WIB

Tersangka dan Ditahan, Alex Noerdin Bungkam ke Media

Eks Gubernur Sumsel Alex Noerdin disebut merugikan negara lebih dari Rp 425 miliar.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Erik Purnama Putra
Mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin menaiki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin menaiki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (29/7/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR Alex Noerdin memilih bungkam kepada media saat diangkut ke dalam mobil tahanan Kejaksaan Agung (Kejakgung) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/9). Setelah menjalani pemeriksaan selama tujuh jam di gedung Pidana Khusus (Pidsus), Noerdin ditetapkan sebagai tersangka.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan mantan gubernur Sumatra Selatan (Sumsel) tersebut karena merugikan negara lebih dari Rp 425 miliar. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejakgung, Supardi mengatakan, Alex ditetapkan tersangka bersama rekannya, Muddai Maddang.

"Sudah ditetapkan tersangka. Dan resmi ditahan," kata Supardi lewat pesan singkat kepada Republika di Jakarta, Kamis. Alex dan Muddai, ditetapkan tersangka dan ditahan terkait kasus dugaan korupsi dalam pembelian, dan pengelolaan gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel.

Terkait kasus itu, Alex dan Muddai, sebetulnya sudah pernah beberapa kali ada di jadwal pemeriksaan. Tetapi, keduanya mangkir. Jadwal pemeriksaan terakhir di Gedung Bundar dilakukan pada Senin (13/9). Namun, baik Noerdin dan Muddai kompak tidak hadir.

Pada Kamis, keduanya, kembali dipanggil untuk pemeriksaan. Setelah menjalani pemeriksaan sejak pukul 09.00 WIB, penyidik menetapkan keduanya sebagai tersangka. Keduanya juga diangkut terpisah ke mobil tahanan Kejakgung sekitar pukul 15.30 WIB.

Saat digiring ke mobil tahanan, Noerdin tampak mengenakan kemeja putih, dengan balutan rompi berwarna merah muda tanda penahanan. Penyidik juga membatasi gerak kedua tangan politikus Golkar itu dengan borgol. Noerdin bungkam atas pertanyaan para pewarta yang menanyakan kasusnya.

Bahkan, ia pun tak menggubris pertanyaan seputar kesehatannya. Usai diserbu ragam pertanyaan, penyidik Jampidsus pun mengantar Alex ke rumah tahanan.

"Terhadap tersangka AN (Alex Noerdin) resmi ditahan di rumah tahanan (rutan) Kelas I Cipinang, cabang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan terhadap MM (Muddai Madang), ditahan di rumah tahanan Salemba, cabang Kejaksaan Agung," ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak.

Ebenezer menerangkan, penetapan tersangka, dan penahanan terhadap Alex dan Muddai, sebetulnya kelanjutan penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian gas bumi di Sumsel. Sebelum menetapkan Alex dan Muddai sebagai tersangka pada Kamis (2/9), Jampidsus juga menetapkan Caca Isa Saleh S (CISS), selaku Direktur Utama (Dirut) PDPDE Sumsel, bersama A Yaniarsyah (AY), Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN).

Kronologi kasus tersebut, bermula dari pemberian alokasi pembelian gas bumi bagian negara oleh PT Pertamina, Talisman Ltd, Pasific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang) 2010. Pemprov Sumsel mendapatkan ‘jatah’ pemberian 15 MMSCFD atau million standart cubic feet per day.

"Pemberian tersebut berdasarkan keputusan kepala Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas), atas permintaan gubernur Sumatra Selatan," kata Ebenezer.

Dari keputusan BP Migas tersebut, yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PDPDE Sumsel. Tetapi, PDPDE Sumsel, dikatakan, pada saat itu, belum punya pengalaman teknis, maupun pendanaan yang solid untuk pengelolaan gas bumi bagian negara.

Kondisi itu, membawa keputusan lanjutan, dengan menggaet pihak swasta, PT DKLN sebagai mitra kongsi. Kongsi bisnis tersebut, berujung pada pembentukan badan hukum baru yakni, PT PDPDE Gas.

"Tersangka AN, selaku gubernur pada saat itu, menyetujui kerjasama antara PDPDE Sumsel dengan PT DKLN dengan membentuk PDPDE Gas," ujar Ebenezer.

Perusahaan kongsi tersebut, memberikan hak kepemilikan saham kepada PDPDE Sumsel sebesar 15 persen. Sedangkan DKLN mendapatkan kepemilikan saham sebesar 85 persen. Komposisi kepemilikan saham moyoritas tersebut, yang membuat AYH bersama dan Muddai mengambil jabatan sebagai Dirut dan Direktur PDPDE Gas.

Dari peristiwa tersebut, menurut kejaksaan, negara dirugikan sepanjang 2010 sampai pembukuan 2019. "Bahwa akibat dari penyimpangan tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara," kata Ebenezer.

Jampidsus, kata Ebenezer, mengacu hasil penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyebutkan adanya dua sumber kerugian negara dalam kasus tersebut. Pertama kerugian negara senilai 30,19 juta dolar AS, atau setara dengan Rp 427 miliar sepanjang 2010-2019 selama perjalanan kongsi bisnis dalam PDPDE Sumsel, dan DKLN tersebut.

"Kerugian tersebut berasal dari hasil penerimaan penjualan gas, dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010-2019 yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel," ujar Ebenezer.

Nilai kerugian kedua, senilai 63,75 ribu dolar AS atau sekitar Rp 909 juta, dan Rp 2,1 miliar. "Kerugian negara tersebut, merupakan setoran modal yang seharusnya tidak dibayarkan oleh PDPDE Sumsel kepada PT DKLN," kata Ebenezer menambahkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement