Rabu 22 Sep 2021 04:50 WIB

Mural '404: Not Found' dalam Perspektif Semiotika

Mural adalah seni jalanan yang sudah ada ribuan tahun lalu sejak zaman lukisan goa.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Mas Alamil Huda
Mural 404: Not Found di Kota Tangerang, Banten dan pembuat sablon 404: Not Found d Tuban, Jawa Timur, didatangi polisi untuk diamankan.
Foto: Istimewa
Mural 404: Not Found di Kota Tangerang, Banten dan pembuat sablon 404: Not Found d Tuban, Jawa Timur, didatangi polisi untuk diamankan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Semiotika Institut Teknologi Bandung, Acep Iwan Saidi, menyampaikan pandangannya terhadap mural '404: not found' dari perspektif semiotika. Dia mengawalinya dengan memaparkan mural adalah seni jalanan yang sudah ada di dunia ribuan tahun lalu sejak zaman lukisan goa.

"Di Indonesia juga banyak ditemukan, dipahami sebagai mural, gambar di dinding. Di Indonesia, mural menjadi sarana alternatif untuk mengkritik atau sarana propaganda sejak zaman perjuangan dulu. Dan perjuangan ini tidak hanya di Indonesia tetapi juga di mana-mana," tutur dia dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (21/9).

Terhadap mural '404: not found', dosen Sekolah Pascasarjana Seni Rupa dan Desain ITB itu mengatakan, warna hitam yang menjadi latarnya memberikan makna kekelaman dan kesuraman. Warna hitam dan makna tersebut tentu telah menjadi tanda yang umum dipahami banyak orang di Indonesia.

"Hitam ini menjadi tanda indeksikal, merujuk pada suatu konsep di belakangnya. Sedangkan warna merah dan putih pada grafiti itu bulan perayaan kemerdekaan. Nasionalisme. Simbol ini tentang bangsa," paparnya.

Kemudian, selain warna, di dalamnya juga terdapat grafiti dan mural. "Grafiti huruf, dan mural menjadi visualnya. Nuansa gambar (grafiti) dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan visual seperti melawan, seolah-olah kesemrawutan visual yang menjadi kesemrawutan sosial. Ini menandai bahwa ini seni jalanan," paparnya.

Acep melanjutkan, ada sosok yang ditampilkan pada mural itu. Jika diamati lebih dalam, sosok pada mural tidak dirusak, rapi, dan normal. Artinya, mural tersebut tidak menghina tubuh dan tidak pula melecehkan. "Posisi yang menurut saya normal dan rapi untuk ukuran mural sehingga tidak menjadi kritik untuk tokoh," tuturnya.

Sosok yang diwujudkan itu, terang Acep, mewakili dari keseluruhan, atau dikenal dengan istilah 'sinekdoke pars pro toto', yakni sebagian yang mewakili keseluruhan. Sosok tersebut menjadi simbol dari subjek. Dalam hal ini, presiden adalah representasi dari rakyatnya. "Jadi bukan pada sosok Pak Jokowi-nya, tetapi representasi dari persoalan bangsa itu," jelasnya.

Mural '404: not found' juga mengirim tanda realitas kehidupan bangsa yang centang-perenang. Misalnya ialah politik nonsense, di mana hampir semua partai politik bergabung dalam pemerintahan. Selanjutnya tentang matinya kepakaran, yakni ketika lembaga pendidikan sibuk dengan dirinya sendiri, dan sibuk dengan kepakarannya masing-masing.

"Kritik ini juga bicara tentang kematian subjek, persoalan yang kita hadapi hari ini. Saya melihatnya seperti itu," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement