REPUBLIKA.CO.ID, BAGRAM -- Mantan tahanan Hajimumin Hamzah mengungkapkan penyiksaan yang pernah terlupakan di Penjara Bagram. Dia ditahan di tempat itu pada 2017 hingga jatuhnya Kabul membuatnya bisa melarikan diri.
"Mereka biasa mengikat kami ke kursi ini, tangan dan kaki kami, lalu menyetrum kami. Kadang-kadang mereka menggunakannya untuk pemukulan juga," kata Hamza ketika mengunjungi penjara tersebut dikutip dari Aljazirah.
Amerika Serikat (AS) mendirikan Fasilitas Penahanan Parwan yang dikenal sebagai Bagram atau Guantanamo Afghanistan pada akhir tahun 2001. Tempat penahanan ini untuk menampung para milisi bersenjata setelah Taliban melancarkan pemberontakan menyusul pemecatannya dari kekuasaan dalam invasi militer.
Fasilitas yang terletak di dalam pangkalan udara Bagram di provinsi Parwan dimaksudkan untuk sementara. Namun ternyata sebaliknya dengan menampung lebih dari 5.000 tahanan.
Pada 2002, setelah kematian dua tahanan Afghanistan dalam tahanan, pusat itu berada di bawah pengawasan. Tujuh tentara AS menghadapi dakwaan. Namun, pelecehan bagaimanapun terus berlanjut dan segera menjadi bagian dari buku pegangan Bagram.
Hamzah mengingat lebih dari sekedar sengatan listrik yang diterimanya dalam tahanan. Menggantung terbalik selama berjam-jam, air dan gas air mata dilemparkan ke tahanan yang sedang tidur dari jeruji di langit-langit sel. Kurung dalam sel kecil tanpa jendela selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan tanpa lampu atau bola lampu yang menyala 24/7.
"Ada banyak bentuk penyiksaan yang berbeda, termasuk pelecehan seksual. Mereka menggunakan gawai untuk membuat kita tidak menjadi laki-laki,” kata Hamzah tanpa memberikan rincian.
"Secara psikologis sulit bagi saya untuk mengingat semua yang terjadi. Penyiksaan sebagian besar dilakukan oleh orang Afghanistan, terkadang orang Amerika. Tapi pesanan datang dari AS," ujar Hamzah.
Hamzah bergabung dengan Taliban pada usia 16 tahun setelah invasi AS. Di matanya, AS adalah penjajah yang menduduki tanahnya. Dia melihat berperang melawan mereka sebagai tugasnya sebagai seorang Muslim dan warga Afghanistan. Dia akan diberikan pelatihan dalam pembuatan bom dan IED setelah kelasnya di departemen pertanian di Kabul University.
"Delapan puluh lima persen orang di Bagram adalah Taliban, sisanya adalah anggota Daesh [ISIS]. Ketika pasukan Amerika dan Afghanistan melakukan operasi mereka dan tidak dapat menemukan Talib, mereka akan menangkap orang-orang yang tidak bersalah. Beberapa dari mereka ditahan di sini selama bertahun-tahun sebelum dibebaskan karena kurangnya bukti,” kata Hamza.