Selasa 28 Sep 2021 10:12 WIB

DPR Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Gelar Pemilu 2024

Usulan pemerintah dikhawatirkan bisa menggagalkan pilkada serentak 2024.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ilham Tirta
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim.
Foto: Istimewa
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengusulkan waktu penyoblosan Pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024 mendatang. Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR, Luqman Hakim menilai rawan jika penyoblosan dilakukan pada Mei. Sebab, ia memprediksi penyelesaian sengketa pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akan selesai pada pertengahan Agustus 2024.

"Jika ini yang terjadi, kita harus bersiap menghadapi kekacauan tahapan Pilkada 2024 dan sangat mungkin berdampak Pilkada serentak November 2024 gagal dilaksanakan," kata Luqman dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Selasa (28/9).

Ia meminta pemerintah belajar dari Pemilu 2019 lalu. Waktu penyoblosan Pemilu 2019 dilakukan 17 April 2019. KPU menetapkan rekapitulasi hasil pemilu tanggal 21 Mei 2019.

"Artinya, penetapan rekapitulasi pemilu 15 Mei akan dilakukan sekitar tanggal 20 Juni 2024," katanya memprediksi.

Kemudian, penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2019 oleh MK baru rampung 100 persen bulan Agustus 2019 atau sekitar 3 bulan dari penetapan rekapitulasi hasil pemilu atau 4 bulan setelah coblosan. Dirinya mengingatkan bahwa UU yang dipakai dasar Pemilu 2019 dan 2024 sama.

"Tidak ada perubahan sedikitpun. Artinya, alur dan waktu Pemilu 2019 akan berulang pada pemilu 2024," kata dia.

Politikus PKB itu menilai kepentingan utama pemerintah mematok 15 Mei 2024 adalah agar penetapan pasangan capres-cawapres terpilih tidak terlalu jauh dari habisnya periode Presiden Jokowi 20 Oktober 2024. Sehingga 'kekuatan dari kekuasaan' pemerintah sekarang masih kokoh sampai hari-hari akhir masa periode.

"Nampaknya pemerintah khawatir, jika coblosan dilaksanakan 21 Februari 2024, maka sudah akan ada pasangan capres-cawapres terpilih di sekitar bulan Maret 2021 (dengan asumsi Pilpres hanya 1 putaran). Kehadiran capres-cawapres terpilih, mungkin dianggap akan mengganggu efektifitas pemerintah yang akan berakhir 20 Oktober 2024," kata dia.

Menurutnya, pertimbangan itu bisa dikesampingkan. Selama capres-cawapres terpilih belum dilantik oleh MPR sebagai Presiden/Wakil Presiden 2024-2029, pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi tetap sah dan tidak berkurang sedikitpun kekuasaannya untuk menjalan berbagai program dan kegiatan.

"Jadi, pertanyaan utama yang sekarang harus dijawab pemerintah, apakah pemerintah serius akan melaksanakan Pemilu dan Pillada serentak tahun 2024 sebagaimana diamanatkan UU 7 tahun 2017 dan UU 10 tahun 2016?" kata dia.

Dirinya berharap dan berdoa agar simulasi pemerintah yang menginginkan penyoblosan Pemilu 15 Mei 2024 tidak dijadikan rangkaian strategi oleh pihak tertentu untuk menggagalkan pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024. Ia juga berharap dalam waktu dekat, KPU setelah berkonsultasi kepada DPR dapat memutuskan tanggal penyoblosan Pemilu 2024 yang paling rasional.

"Sehingga Pemilu dan Pilkada November 2024 dapat dilaksanakan secara demokratis dan bermartabat," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement