REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Di sebuah madrasah di sudut terpencil kota Kabul, Afghanistan, belasan anak-anak dengan hikmat membaca ayat suci Alquran. Pagi itu, mereka duduk melingkari gurunya, Ismatul Mudaqiq.
Mereka adalah siswa di Madrasah Khatamul Anbiya. Di sana, mereka ditempa untuk menjadi hafiz. Kegiatan di sekolah tersebut sudah dimulai sejak pukul 04.30. Para siswa bangun dan menunaikan salat Subuh berjamaah.
Setelah itu, mereka akan mulai membuka lembaran-lembaran Alquran dan membacanya seraya mengingat atau menghafalnya. Pada momen-momen tertentu, Mudaqiq menguji mereka secara mendadak. Ia bakal meminta salah satu murid menghadap dan membacakan ayat yang dimintanya.
Madrasah di Afghanistan hanya dihadiri anak atau siswa laki-laki. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga miskin. Bagi mereka, madrasah adalah institusi penting. Kadang, hanya di tempat itu anak-anak memperoleh pendidikan.
Karena sebagian besar siswa adalah keluarga miskin, sekolah pun mengambil tanggung jawab untuk menjaga mereka. Sekolah memberi mereka pakaian dan makanan. Tak sedikit pula yang pada akhirnya tinggal di sekolah.
Saat ini Afghanistan dikuasai Taliban. Para siswa dan tenaga didik belum yakin apa yang akan terjadi pada masa depan di bawah pemerintahan Taliban. Staf di Khatamul Anbiya berhati-hati ketika ditanya apakah mereka mengharapkan dukungan lebih besar dari Taliban.
"Apa pun, dengan atau tanpa Taliban, madrasah sangat penting. Tanpa madrasah, orang-orang akan melupakan sumber agama mereka," kata Mudaqiq.
Seperti kebanyakan institusi di Afghanistan, madrasah telah berjuang menghadapi krisis. Kondisi kian sulit karena perekonomian Afghanistan pun tengah dilanda gejolak. Penurunan kian cepat sejak Taliban mengambil alih kekuasaan atas negara tersebut pada 15 Agustus lalu.
Kendati kondisinya sulit, Mudaqiq tetap pada pendiriannya yakni keberadaan madrasah harus dipertahankan. "Madrasah harus selalu ada, tidak peduli apakah pemerintah hadir. Tidak masalah biayanya, madrasah harus tetap hidup," ucapnya.
Secara historis, pemerintah Afghanistan kekurangan sumber daya untuk menyediakan pendidikan di daerah perdesaan. Hal itu memungkinkan madrasah hidup dalam pengaruh. Selama ini sistem madrasah tetap dapat hidup dan bertahan berkat sokongan masyarakat. Sebagian besar pendanaanya berasal dari swasta.
Namun karena saat ini Afghanistan sedang disanksi Amerika Serikat (AS) dan asetnya dibekukan lembaga moneter internasional, gaji publik belum dibayarkan. Madrasah tak melihat pendanaan yang sama seperti dulu.
Anak-anak yang tumbuh dalam sistem madrasah dapat memenuhi syarat menjadi ahli agama. Madrasah di Afghanistan telah dikritik karena dianggap mengandalkan metode menghafal daripada berpikir kritis. Namun bagi sebagian orang, sistem madrasah hanyalah cara agar mereka dapat memperoleh pendidikan dasar dan tetap makan.
Kata "Taliban" sendiri berarti siswa. Mereka mulai terbentuk pada awal 1990-an. Sebagian anggotanya adalah siswa madrasah garis keras dari Pakistan.
Selama dua dekade terakhir, madrasah di Afghanistan telah menjauhi ideologi militan. Hal itu berkat pengawasan pemerintahan Afghanistan terdahulu yang didukung AS. Kini pemerintahan itu telah tiada.