REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, 40 persen kasus thalasemia, atau penyakit kelainan darah yang diturunkan dari orang tua, berada di Provinsi Jawa Barat. Karena itu, Kemenkes merangkul 14 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat untuk lebih serius menangani penyebaran penyakit.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie mengatakan, Provinsi Jawa Barat (Jabar) saat ini menjadi daerah dengan jumlah pengidap thalasemia yang tinggi. Ia menambahkan, penyakit ini tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dicegah.
Untuk memutus rantai penyebaran virus ini, dia mengatakan, pemerintah daerah bisa melakukan deteksi dini kepada masyarakat khususnya mereka yang sudah masuk usia dewasa dan belum menikah. "Memang agak berbeda dengan penyakit lain. Ini dengan mencegah perkawinan sesama pembawa sifat. Jadi kita mencegah sesama pembawa sifat (menikah)," ujar Putri dalam Kick Off Uji Coba Deteksi Dini Thalassemia di UPT Puskesmas Garuda, Kota Bandung, Selasa (5/10).
Putri menjelaskan, sejumlah literatur menyebutkan bahwa saudara kandung pengidap thalasemia dimungkinkan menjadi pembawa sifat penyakit tersebut. Untuk meminimalisir mendapatkan keturunan dengan thalasemia, harus ada pengecekan kepada calon istri atau suami.
Menurutnya, ketika ada pasangan yang merupakan pembawa sifat thalassemia maka harus ada bimbingan kepada kepada calon pengantin tersebut. Bukan hanya dari dinas kesehatan, tapi juga pihak lain seperti kementerian agama.
Dia mengatakan, edukasi harus dilakukan agar mereka tahu dampak ketika pembawa sifat thalassemia menikah. Jangan sampai, ia mengatakan, pasangan ini nantinya justru mengalami kebingungan dan tekanan ketika menjalankan hubungan.
"Tapi kami berharap penyakit ini bisa dicegah agar Indonesia ke depan lebih kuat dalam menghadapi apapun," katanya.
Dia mengatakan, jika tidak melakukan deteksi dini maka kemungkinan besar anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut menjadi pengidap thalasemia. "Saat menjadi thalasemia maka anak itu akan membutuhkan transfusi darah sepanjang hidup," katanya.
Selain harus mendapat transfusi, dia mengkhawatirkan, adalah sisi psikologis anak dan keluarga tersebut.