Sabtu 16 Oct 2021 00:33 WIB

Amnesty: Aksi Smackdown tak Bisa Diselesaikan dengan 'Maaf'

Amenesty meminta aksi polisi membanting mahasiswa diselesaikan lewat proses hukum.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Foto: Republika/Flori Sidebang
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik aksi petugas polisi yang membanting seorang mahasiswa di Tangerang hingga rekaman videonya beredar viral. Ia menyatakan, aksi kekerasan tersebut tak bisa diselesaikan lewat permintaan maaf saja.

Usman menyatakan, aksi membanting peserta demo tergolong tindakan kekerasan berlebihan. Ia merasa aksi itu pantas diganjar oleh hukum yang berlaku.

Baca Juga

"Membanting seorang peserta aksi damai seperti yang terlihat dalam rekaman video jelas merupakan penggunaan kekerasan yang berlebihan. Pelanggaran seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf saja," kata Usman dalam keterangan pers yang diterima Republika, Jumat (15/10).

Usman meminta petinggi kepolisian menindak tegas oknum personelnya itu. Ia mengusulkan sang pelaku kekerasan terhadap mahasiswa dibawa ke meja hijau agar mendapat ganjaran hukuman setimpal.

"Pihak berwenang harus segera menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak. Dengan bukti-bukti hasil investigasi itulah, pelaku harus diadili di pengadilan umum yang adil dan terbuka bagi masyarakat," ujar Usman.

Usman juga mengungkapkan, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat bukan sesuatu yang hanya terjadi sekali. Dalam rangkaian demonstrasi terhadap revisi UU Otsus Papua yang terjadi pada bulan Juli dan Agustus lalu, Amnesty International menemukan bukti-bukti penggunaan kekuatan secara berlebihan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan terhadap pengunjuk rasa.

"Lalu sementara selama rangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law pada bulan Oktober 2020, Amnesty juga mencatat ada setidaknya 402 dugaan kasus kekerasan polisi di 15 provinsi," ucap Usman.

Usman menilai aksi kekerasan oleh oknum polisi bakal terus berlangsung bila tak ada sanksi tegas.

"Kejadian-kejadian seperti ini akan terus berulang jika setiap insiden dianggap selesai dengan permintaan maaf atau sanksi administratif saja. Jika Polri ingin dilihat masyarakat sebagai institusi humanis, maka pelaku harus melalui proses hukum yang adil, dan langkah-langkah nyata harus diambil untuk mencegah kejadian serupa," tutur Usman.

Sebelumnya, aksi demonstrasi bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) Kabupaten Tangerang terjadi di kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang pada Rabu (13/10) berakhir ricuh hingga terjadi saling dorong antara aksi massa dari sejumlah mahasiswa dan pihak aparat keamanan. Pada malam harinya, anggota polisi yang membanting mahasiswa menyampaikan permintaan maafnya atas kejadian tersebut.

Brigadir NP yang membanting mahasiswa berinisial MFA meminta maaf atas perbuatannya. Ia mengaku akan bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya.

“Saya meminta maaf kepada Mas Faris (MFA) atas perbuatan saya dan saya siap bertanggung jawab atas perbuatan saya,” ujar NP dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Rabu (13/10).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement