REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru saja disahkan diharapkan dapat mendorong sistem perpajakan ke arah yang lebih adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Penghasilan negara dari sektor pajak diharapkan dapat ditingkatkan.
Meskipun UU yang menjadi bagian dari proses reformasi struktural sistem perpajakan ini masih jauh dari sempurna sehingga perlu perbaikan dan penyempurnaan. Salah satu bagian yang perlu diperbaiki terkait perluasan basis pajak dan upaya peningkatan tax ratio.
“Mudah mudahan dengan disahkannya HPP, pemerintah dapat menggenjot perpajakan di sektor tambang. Menurut informasi yang kami terima masih ada perusahaan pertambangan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ini berarti kehilangan pendapatan negara yang besar," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Berly Martawardaya.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini mengatakan pemerintah perlu meniru Amerika Serikat dan Inggris yang memasukkan gula dan minuman yang mengandung kadar gula tinggi serta bersoda sebagai salah satu objek pajak baru atau yang wajib dikenai cukai. Hal ini karena sebagian besar masyarakat mengonsumsi gula.
Dan sebagian besar rakyat Indonesia saat ini biaya perawatan kesehatan dan rumah sakitnya sudah menggunakan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Itu berarti biaya pengobatan penyakit yang disebabkan oleh gula, menggunakan BPJS atau ditanggung negara.
“Tujuan pengenaan cukai adalah untuk mengurangi konsumsi dari benda atau zat yang dikenai cukai itu sendiri oleh pemerintah. Sehingga dengan dikenai cukai konsumsinya jadi berkurang," kata Berly. "Karena itu, pengenaan cukai terhadap gula dan rokok sudah semestinya dilakukan pemerintah agar konsumsi terhadap rokok maupun gula tidak berlebihan."
Menyinggung soal rokok, Berly mengatakan rokok merupakah salah satu produk yang memang harus dikenai cukai. Hal ini diperlukan agar ada pengendalian dan pengurangan terhadap konsumsi rokok. Berapa persentase kenaikan cukai rokok setiap tahunnya perlu perhitungan yang lebih matang.
Dosen dan Peneliti Ekonomi pada Pusat Kajian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) Imaninar memiliki pendapat berbeda. Menurutnya tidak selamanya pengenaan cukai dapat mengurangi konsumsi terhadap zat maupun barang yang dikenai cukai. "Rokok salah satunya. Meski pemerintah setiap tahun menari cukai, hal ini tidak mengurangi kebiasaan masyarakat mengonsumsi rokok," sebutnya.
Menurut Imaninar meskipun pemerintah hampir setiap tahun menaikkan tarif cukai dan harga rokok, bahkan pada masa pandemi, namun angka prevalensi merokok tidak menurun signifikan. Kenaikan harga rokok tidak serta merta menurunkan jumlah perokok. "Hal itu terjadi mengingat masyarakat memiliki alternatif lain dalam mengonsumsi rokok dengan harga murah, yaitu rokok ilegal,” ujar dia mengungkapkan.