REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepekan terakhir Aparat Penegak Hukum (APH) menjadi sorotan masyarakat. Hal ini terkait lemahnya pemberantasan hukum hingga sikap sewenang-wenang aparat, yang disikapi publik dengan kritik #PercumaLaporPolisi atas kasus yang tidak ditindaklanjuti, hingga sikap polisi yang melakukan tindakan kekerasan kepada mahasiswa di Tangerang.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai sudah bukan zamannya lagi aparat penegak hukum, polisi maupun kejaksaan bertindak semaunya seperti masa Orde Baru. Ia menegaskan kini semua tindakan aparat penegak hukum itu terbatas dan diatur oleh Undang Undang.
"Jika polisi atau jaksa melakukan tindakan yang melebihi kewenangannya, masyarakat bisa menuntut melalui jalur praperadilan. Dan apabila terbukti salahi prosedur, aparat bisa disanksi tegas," ungkap Fickar kepada wartawan, Jumat (22/10).
Polisi dan jaksa, sebagai APH kini kewenangannya terbatas. Ia mengakui, polisi atau jaksa sebagai APH, seperti penyidik memang mempunyai kewenangan untuk menyelidiki dan menyidik sebuah tindak pidana. Karena itu mereka juga mempunyai kewenangan menetapkan seseorang sebagai tersangka dan menahannya selama proses penyidikan sepanjang 20-40 hari.
Tapi bukan berarti selama proses itu, mereka tidak ada yang mengawasi. Publik yang dirugikan atas cara cara penyelidikan melanggar prosedur dan kewenangan, bisa mengajukan proses praperadilan tadi, apakah sah atau tidak dalam proses pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan hingga penetapan tersangka.
Karena itu, Fickar meminta publik juga semakin kritis atas tindakan-tindakan penegakkan hukum yang sewenang-wenang, represif dan melampaui prosedur. Sehingga kewenangan Polisi dan Jaksa dalam penegakkan hukum tersebut, dapat dikontrol dan terukur. "Penting bagi publik juga memahami dan berani bersikap, melaporkan bila ada APH yang sewenang-wenang serta melanggar prosedur," imbuhnya.
Sebelumnya Mabes Polri telah menyadari adanya kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam penegakkan hukum selama ini. Mulai dari kesediaan Polri mengusut kembali kasus pemerkosaan di Luwu, kemudian sanksi tegas oknum aparat yang membanting mahasiswa di Tangerang, hingga pemindahtugasan polisi 'artis' Aiptu Ambarita dan Jacklyn Chopper, karena menyalahi prosedur saat pemeriksaan.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengakui memang ada hal yang perlu diperbaiki di internal kepolisian, terutama dalam proses pemeriksaan hingga penyidikan. Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan padahal sudah ada aturan terkait pemeriksaan, termasuk saat aparat menghadpi massa demonstran menghindari penggunaan kekuatan.
"Tetapi pada intinya setiap tindakan anggota Polri dalam melakukan pengamanan harus tetap menghormati hak asasi manusia, sehingga tidak boleh ada kekerasan berlebihan," kata Poengky
Hal yang sama soal proses pemeriksaan yang menyalahi prosedur. Poengky juga mengingatkan tindakan penggeledahan HP milik masyarakat seperti yang dilakukan Aipda Monang Parlindungan Ambarita itu, tanpa dasar hukum dan itu sudah keliru.
Sebab bagaimanapun juga, kata Poengky, pemeriksaan telepon genggam harus sesuai prosedur. Bahkan, kata Poengky, dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) penyitaan barang yang diduga berkaitan dengan kejahatan harus seizin pengadilan.
"Pemeriksaan juga harus ada surat perintah. Tidak boleh main ambil begitu saja. Harus ada sangkaannya dulu," tegas Poengky.
Karena itu, Poengky meminta, agar seluruh anggota Polri berhati-hati dalam melaksanakan tugas. Tentunya bagi seluruh aparat harus tetap kedepankan profesionalitas, menjaga sopan santun dan jangan menunjukkan arogansi. Mengingat, kata dia, aparat kepolisian bertugas untuk melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum.