Sabtu 23 Oct 2021 01:14 WIB

LBH Jakarta: Tahan 2 Terdakwa Pembunuhan Laskar FPI

Keduanya terancam hukuman penjara antara 7 sampai 15 tahun penjara.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Ipda M Yusmin Ohorella menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10). PN Jaksel mengelar sidang perdana kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI dengan terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dengan agenda pembacaan dakwaan.Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Ipda M Yusmin Ohorella menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10). PN Jaksel mengelar sidang perdana kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI dengan terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dengan agenda pembacaan dakwaan.Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta mempertanyakan langkah aparat penegak hukum yang tak melakukan penahanan terhadap dua anggota kepolisian, terdakwa pembunuhan enam Laskar Front Pembela Islam (FPI). Direktur LBH Jakarta Arif Maulana meminta, agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendesak majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menyidangkan Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorello melakukan penahanan.

Arif menjelaskan, sejumlah dasar hukum yang mengharuskan dua anggota Resmob Polda Metro Jaya tersebut ditahan. Utamanya, terkait  dakwaan keduanya. 

JPU mendakwa, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin dengan sangkaan yang ancaman pidananya belasan tahun penjara. Arif mengatakan, Pasal 21 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan, penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka, atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman 5 tahun penjara atau lebih.

“Berdasarkan ketentuan KUHP tersebut, para terduga, atau pelaku unlawfull killing Laskar FPI, sudah seharusnya ditahan sejak statusnya ditetapkan,” kata Arif kepada Republika, Jumat (22/10). 

Selain itu, Arif menerangkan, tuduhan yang disangkakan jaksa terhadap kedua terdakwa tersebut, dikategorikan pidana berat. Apalagi, keduanya adalah terduga pelaku yang berstatus sebagai anggota kepolisian aktif.

“Keduanya adalah terdakwa pembunuhan, dan penganiyaan berat. Namun praktiknya, penahanan ini tidak dilakukan,” ujar Arif.

Keputusan penegak hukum, dan pengadilan yang tak melakukan penahanan, pun menurut Arif, bentuk diskriminatif dalam penegakan hukum. Sebab, dikatakan dia, pada kasus-kasus lain yang dilakukan oleh masyarakat biasa, aparat penegak hukum kerap menjebloskan tersangka, atau terdakwa ke sel penahanan di level kepolisian, maupun di kejaksaan. 

Kata Arif, YLBHI punya data 2021 berjalan, tentang penahanan terhadap 109 orang sebagai tersangka, dalam penanganan 113 orang tersangka. Bahkan 29 tersangka di antaranya kasus-kasus tersebut diambil keterangan penyidikan saat berstatus tersangka di dalam tahanan. 

Hal ini, sangat berbeda dalam penanganan kasus pembunuhan di KM 50 Tol Japek, yang menetapkan anggota kepolisian aktif sebagai tersangka, atau terdakwa. “Dengan tidak melakukan penahanan terhadap terduga pelaku unlawfull killing, pembunuhan dan penganiayaan anggota FPI tersebut, merupakan tindakan yang sangat diskriminatif,” ujar Arif.

Sidang pembacaan dakwaan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pembunuhan enam anggota Laskar FPI sudah dimulai sejak Senin (18/10) di PN Jakarta Selatan. Sidang selanjutnya, akan digelar pada Selasa (26/10) mendatang. Persidangan tersebut, dipimpin ketua majelis hakim, Arief Nuryanta, dengan hakim anggota Suharno, dan Elfian. 

Dalam dakwaan, JPU mendakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana, dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Keduanya terancam hukuman penjara antara 7 sampai 15 tahun penjara.

Usai persidangan pembacaan dakwaan kemarin, kedua terdakwa itu, pun tak ditahan. JPU tak meminta penahanan, pun majelis hakim tak memutuskan untuk melakukan penahanan.  Sejak ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri, pun kedua anggota Resmob Polda Metro Jaya itu memang tak ditahan. Pun saat pelimpahan berkas perkaranya ke penuntut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejakgung). 

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer pernah menyampaikan, keputusan tak melakukan penahanan terhadap Briptu Fikri, dan Ipda Yusman karena keduanya adalah anggota kepolisian aktif. Kata Ebenezer, atasan Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin, pun dikatakan menjamin sikap koopratif untuk menjalani persidangan. 

“Terhadap para tersangka, tidak dilakukan penahanan karena pertimbangan objektif. Kedua tersangka adalah anggota Polri aktif, serta kooperatif pada saat (menjalani) persidangan,” ujar Ebenezer, saat dikonfirmasi wartawan dari Jakarta, Selasa (24/8).

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement