REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan disinformasi maupun berita hoaks yang tersebar di media sosial dapat mengancam demokrasi, perdamaian sosial, dan keamanan nasional. Erdogan menyatakan harapan agar perusahaan teknologi dan media berperan dalam memperkuat solidaritas antarnegara.
"Sama seperti kami tidak sepenuhnya bergantung pada orang asing dalam industri pertahanan dan masalah militer, kami tidak dapat menyerahkan masalah komunikasi kepada orang lain," kata Erdogan dilansir Middle East Monitor, Sabtu (23/10).
Erdogan menyatakan jutaan orang di seluruh dunia mengalami depresi dan menderita trauma serius karena berita palsu. "Seperti isu-isu strategis lainnya, kami harus menangani masalah media dan komunikasi dengan tangan kami sendiri," kata Erdogan.
Dia mendesak dunia dan bangsa Turk untuk mengambil inisiatif dalam berbagi pengalaman. Erdogan mengatakan tidak ada negara atau masyarakat yang bebas dari dampak buruk fasisme digital.
Selain fasisme digital, bangsa Turk juga mengalami standar ganda di kalangan media internasional. Menurutnya media telah menyembunyikan fakta tentang perang Karabakh kedua yang berlangsung selama 44 hari.
“Pembantaian dan serangan rudal balistik tentara Armenia yang menargetkan warga sipil (di Azerbaijan) tidak pernah diangkat pada periode itu. Berbicara tentang independensi dan objektivitas media, outlet media internasional bertindak sebagai kantor berita resmi Armenia,” ujar Erdogan.
Ia juga menyoroti perang Karabakh kedua bukan contoh pertama atau terakhir dari embargo pers terhadap fakta-fakta tentang negara-negara di bangsa Turk.
Hubungan antara Azerbaijan dan Armenia telah tegang sejak 1991. Tepatnya ketika militer Armenia menduduki Nagorno-Karabakh atau yang dikenal sebagai Karabakh Atas. Karabakh merupakan sebuah wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan dan tujuh wilayah yang berdekatan.
Ketika bentrokan baru meletus pada 27 September 2020, tentara Armenia melancarkan serangan terhadap warga sipil dan pasukan Azerbaijan. Armenia melanggar beberapa perjanjian gencatan senjata. Selama konflik 44 hari, Azerbaijan membebaskan beberapa kota dan hampir 300 pemukiman dan desa dari pendudukan selama hampir tiga dekade.
Pada 10 November tahun lalu, kedua negara menandatangani perjanjian yang ditengahi Rusia untuk mengakhiri pertempuran dan bekerja menuju resolusi yang komprehensif. Kemudian pada 11 Januari, para pemimpin Rusia, Azerbaijan, dan Armenia menandatangani pakta untuk mengembangkan hubungan ekonomi dan infrastruktur yang menguntungkan seluruh wilayah. Pertemuan itu termasuk pembentukan kelompok kerja trilateral di Karabakh.
Gencatan senjata dipandang sebagai kemenangan bagi Azerbaijan dan kekalahan bagi Armenia. Sebelum kemenangan ini, sekitar 20 persen wilayah Azerbaijan telah berada di bawah pendudukan ilegal selama hampir 30 tahun.